KHUTBAH JUM,AT
Khutbah Jum’at : 16 – 1 – 2015, Masjid Istiqomah Lohbener
MENAJAMKAN SYUKUR, MENGURANGI KUFUR
اَلْحَمْدُ للهِ
الَّذِى خَلَقَ الْاِنْسَانَ وَصَوَّرَهُ مِنَ
الْعَدَمِ. وَقَدَّرَ رِزْقَهُ وَاَجَلَهُ وَعَلَيْهِ بِكَأْسِ الْمَنُونِ
قَدْحَكَمَ, وَقَضَى عَلَيْهِ اِمَّا بِالشَّقَاوَةِ وَاِمَّا بِا لسَّعَادَةِ.
وَقَدْ حَكَمَ بِذَالِكَ وَمَا ظَلَمَ. اَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى
مَا اَعْطَى وَقَسَمَ. وَاشْكُرُهُ عَلَى مَا اَوْلاَ نَا مِنَ النَّعَمِ. أَشْهَدُ
أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى
اَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ. وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا اَمَّا بَعْدُ: فَيَا عِبَادَاللهِ اَوْصِيْكُمْ وَنَفْسِى بِـتَقْوَى
اللهِ. اَلَّذِى شَرَّفَ مُحَمَّدًا بِاالْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ لِمَصْلَحَةِ عَا
مَّةٍ فِى الْعَا لَمِيْنَ.
قَالَ العَلِيٌ :
تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ تُعْرِفُوا بِهِ, وَاعْمَلُوابِهِ تَكُونُوامِنْ اَهْلِهِ.
وَقَالَ : اَلْعَامِلَ بِغَيْرِ عِلْمٍ
كَالسَّائِرِعَلَى غَيْرِ طَرِيْقٍ, فَلاَ يَزِيْدُهُ بُعْدُهُ عَنِ
الطَّرِيْقِ الْوَاضِحِ إِلاَّ بُعْدًا مِنْ
حَاجَتِهِ. وَالْعَامِلٌ بِا الْعِلْمِ كَالسَّائِرِ عَلَى
الطَّرِيْقِ الْوَاضِحِ. فَلْيَنْظُرْ
نَاظِرٌ: أَسَائِرٌ هُوَ أَمْ رَاجِعٌ!
Jamaah Jumat
RK,
Di majlis yang mulia ini, terlebih
dahulu marilah kita menghaturkan rasa syukur kehadirat Allah Swt. Kita syukuri segala hal
maupun segala keadaan yang saat ini menyelimuti jiwa raga kita. Apapun
keadaannya, bagaimanapun kenyataannya, ia adalah hal terbaik yang dianugerahkan
Allah pada diri kita. Kita harus pandai mensyukurinya. Masih banyak saudara kita
di luar sana yang jauh kurang beruntung. Ditimpakan keadaan ataupun cobaan yang
jauh lebih berat, yang seandainya cobaan tersebut ditimpakan pada diri kita,
bisa jadi, tak kuasa menjalaninya.
Sehingga tidak bisa merasakan kebahagiaan sebagaimana kita rasakan sekarang.
Demikian pula keadaan
sekarang yang relatif pas-pasan, atau bahkan mung kin kurang, dibanding mereka yang mendapat kebahagiaan dan
rezeki yang melimpah, kita pun harus pandai mensyukurinya. Sebab, belum tentu
kebahagian dan rezeki yang melimpah itu mengantarkan penerimanya pandai
bersyukur. Terkadang malah hanyut di dalamnya. Hanyut dalam kebahagiaan dan
kesenangannya. Kemudian lupa mensyukurinya. Sejarah dan pengalaman membuktikan,
ketika kebahagiaan dan rezeki berlimpah, terkadang bisa menelikung penerimanya,
menjadikan rasa syukurnya berkurang, kurang prihatin, dan kurang waspadanya.
Sehingga mampu melemahkan kumadep dan dzikirnya. Walaupun tidak jarang pula
dengan kebahagiaan dan rezeki melimpah itu mampu mengantar penerimanya tambah
bersyukur dan kumadepnya pada Yang Maha Kuasa.
Oleh karena itu, Jamaah
Jumat RK,
Sekali lagi, mari kita
jadikan syukur menjadi suatu yang sangat penting dalam hidup kita, untuk
dihayati, direnungkan, dan dipraktekkan, dalam segala keadaan maupun aktifitas. Cukup
tidak cukup, enak tidak enak, sedang bahagia ataupun tidak, kesemuanya
disyukuri secara mendalam. Mengiringi ajegnya nafas yang keluar masuk dalam
dada, yang tanpa kita mintapun diberi dengan sangat murah, tak terhingga
nilainya.
Bilamana sebaliknya, rasa
syukur itu tidak mendapat perhatian yang seksama, terlindih oleh berbagai macam
keadaan maupun aktifitas, tentu akan dengan mudah terjebak dalam kekufuran. Sebagaimana ketentuan Nya, wa lain kafartum inna 'adzabi lasyadid. Adzab
Allah itu sungguh sangat pedih bagi mereka yang mengkufuri segala nikmat-Nya,
baik nikmat yang menyenangkan-membahagiakan, maupun nikmat yang menyusah kan , menyengsarakan. Yang tentunya,
kita semua harus menghindar dengan sekuat-kuatnya
.
Jamaah Jumat RK,
Menajamkan
syukur dan mengurangi jeratan kufur jelas bukan perkara mudah. Sebab, dada kita
terlanjur mudah terisi butiran-butiran kufur. Tanpa disadari telah terbiasa melakoninya.
Buktinya, masih mudahnya hati kita gonjang ganjing terbawa suasana. Senang
susah, kecewa bahagia, lemah semangat
dan seterusnya. Apalagi, sedikitnya ada 3 ketentuan yang mengindikasikan bahwa
anak cucu Adam ini sulit terlepas dari cengkeraman kufur.
Pertama, Firman
Allah dalam QS. Al-Ahzaab : 72 “Innahu
kaana dzaluman jahuula. Sesungguh-nya manusia itu amat dzalim dan amat
bodoh.
Kedua, Firman
Allah dalam QS. Al-Ma'aarij : 19
¨bÎ) z`»|¡SM}$# t,Î=äz %·æqè=yd ÇÊÒÈ
Sesungguhnya
manusia itu diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
Ketiga, sabda Nabi SAW : “al
insaanu mahalul khatha’ wa nisyan.” Sesungguhnya
manusia itu tempatnya salah dan lupa.
Jamaah Jumat rahimakumullah.
Ketiga ketentuan tersebut, bila dicermati secara mendalam, seolah
- olah memupus harapan agar terbebas dari jeratan kufur. Bisa dibayangkan,
ketika masih berada di alam dzar atau alam arwah, jiwa raga yang masih belum
terbentuk, apalagi akal pikiran, telah divonis oleh Allah sebagai makhluk dzaluman
jahula. Setelah terlahir di dunia, sifatnya yang selalu keluh kesah, selalu
kurang, lagi kikir. Dilengkapi pula dengan tempatnya salah dan lupa. Seolah
melengkapi, dan menyempurnakan watak “zaluman jahula”
Namun demikian, manusia tetaplah
manusia yang tidak bisa apa-apa dan tidak ada apa-apanya, tetap diperintah
untuk berikhtiyar dan bertawakkal. Perkara hasil atau tidaknya urusan Yang Maha
Kuasa. Adapun usaha untuk menajamkan syukur dan
mengurangi jeratan kufur adalah:
Pertama, Memahami dengan baik makna ungkapan “man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa Rabbahu,
wa man ‘arofa Rabbahu faqod jahula nafsahu”. barang siapa mengenali jati dirinya sendiri tentu akan
mengenali Jati Diri Tuhannya, dan barang siapa mengenali Jati Diri Tuhannya
tentu akan mengetahui “bodoh”-nya diri. Sehingga silogismenya, barang siapa
mengenali dirinya sendiri, tentu akan mengenali bodohnya diri.
Konkritnya, pengenalan terhadap jati diri manusianya sendiri, bisa
dilakukan bila mengenal dengan benar Jati Diri Tuhan. Sedang pengenalan akan
jati diri Tuhan, hanya dapat dilakukan bilamana ditanyakan (atau tepatnya
digurukan) langsung pada yang diutus Tuhan untuk mengenalkannya. Sebab, hanya
sang utusan itulah yang mengajarkan secara langsung ajaran suci-Nya. Yang
ditugasi memperkenalkan Jati Diri Al-Ghaib Tuhan pada hamba yang telah menjadi
kehendak-Nya. Kemudian setelah mengenal Jati Diri Tuhannya, selanjutnya
memproses diri sebagaimana petunjuk tuntunan arahan yang telah mengenalkan
ilmunya. Kemudian hanya melalui ampunan dan hidayah Tuhan semata, yang akan
mengangkat pengertian dan pemahaman hamba, menyadari seyakin-yakinnya bahwa
hamba ini ternyata memang bodoh. Tidak bisa
apa-apa dan tidak ada apa-apanya. ”Dzaluman
jahula.”
Jamaah Jumat RK,
Kedua, Mencermati dan berusaha melaksanakan fatwa Imam Ali RA.
تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ تُعْرِفُوا بِهِ, وَاعْمَلُوابِهِ
تَكُونُوامِنْ اَهْلِهِ
Pelajarilah ilmu, niscaya kalian
akan dikenal dengannya, dan amalkanlah ilmu yang kalian pelajari itu, niscaya
kalian akan termasuk ahlinya.
Konkritnya, di dalam mendapatkan kebisaan atau kepahaman atas
suatu perkara, apalagi menjadi ahli didalamnya, satu-satunya syarat adalah
harus mempelajari ilmunya. Ilmu yang membahas, mengatur, dan mengupas tuntas
perihal perkaranya. Dengan cara, ditanyakan langsung pada sang ahli perihal
ilmu bidangnya.
Fatwa ini tidak membicarakan satu bidang ilmu tertentu, melainkan
semua ilmu yang memungkinkan untuk dipelajari. Kuasa menjalaninya. Termasuk
didalamnya, ilmu khos tentang pengenalan Jati Diri Tuhan, yang mampu mengantar
pelakunya wa’bud rabbaka hatta ya’tiyakal yaqin, dan mengurangi diri
dari jeratan kufur.
Ketiga, Memahami dengan seksama
rambu-rambu ilmu beserta pengamalannya, sebagaimana fatwa Imam Ali di muka :
اَلْعَامِلَ بِغَيْرِ عِلْمٍ
كَالسَّائِرِعَلَى غَيْرِ طَرِيْقٍ, فَلاَ يَزِيْدُهُ بُعْدُهُ عَنِ الطَّرِيْقِ
الْوَاضِحِ إِلاَّ بُعْدًا مِنْ حَاجَتِهِ. وَالْعَامِلٌ بِا الْعِلْمِ
كَالسَّائِرِ عَلَى الطَّرِيْقِ الْوَاضِحِ. فَلْيَنْظُرْ نَاظِرٌ: أَسَائِرٌ هُوَ
أَمْ رَاجِعٌ
Orang yang beramal tanpa ilmu,
seperti orang yang berjalan bukan di jalan. Maka, hal demikian tidak
menerangi jalannya kecuali semakin jauh dari kebutuhannya. Dan orang yang
beramal dengan ilmu, seperti orang yang berjalan di atas jalan yang terang.
Maka, hendaklah seseorang memperhatikan, apakah dia berjalan, ataukah malah
kembali.
Keempat, Perlu
mengasah akal dengan rutin, dan serius, disertai dengan sabar, tawakkal.
Sebagaimana fatwa Imam Ali yang lain: Akal adalah naluri, sedangkan yang
mengasuhnya adalah berbagai pengalaman. Akal adalah buah pikiran dan
pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui. Akal adalah yang menghidupi
ruh, sedang ruh adalah yang menghidupi badan. Pemberdayaannya perlu usaha
serius yang rutin. Dibarengi dengan sikap sabar dan tawakkal. Sebab seserius
bagaimanapun, dan serutin apapun suatu usaha, tanpa dibarengi sabar dan
tawakkal, tidak akan membuahkan. Sesuatu yang sempurna. Sebab hanya Tuhan
sendiri yang pada akhirnya menurunkan dan mengabulkan serangkaian usaha yang
dilakukan manusia.
Jamaah Jumat RK,
Sedikit uraian di atas kiranya mampu membuka dan mencerahkan hati dan
fikiran kita. Mampu menambah keyakinan akan pentingnya makna belajar. Sehingga,
pada gilirannya, mampu meningkatkan iman dan taqwa kita walau hanya seper
seribu derajad di sisi-Nya.
Semoga, serangkaian ibadah kita di siang ini diterima sebagai
sebuah lakon adegan pendekatan pada-Nya, menjadi sarana turunnya ampunan dan
hidayah-Nya. Serta mendapat limpahan sawab dan berkah Rasulullah saw. Amin ya Robbal alamin.
جَعَلَنَا اللهُ
وَاِيَّـاكُمْ مِنَ الْفَا ئِزِيْنَ الْاَمِنِيْنَ. وَاَدْخَلَنَـا
وَاِيَّـاكُمْ فِى زُمْرَةِ عِبَـادِهِ الصَّـالِحِـيْنَ. اَعُوْذُبِا اللهِ مِنَ الشَّيْطَانَ الرَّجِيْمِ.
فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَاَصْلَحَ فَاِنَّ
اللهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ اِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيْمٌ.
وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ
وَاَرْحَمْ وَاَنْتَ خَيْرُا الرَّاحِمِيْنَ.
Komentar
Posting Komentar