ARTIKEL UMUM
PENGARUH
POLITIK DAN PENGUASA
TERHADAP
DUNIA PENDIDIKAN
Disusun oleh :
H. AL
ASY’ARI, S.Ag.
NIP. 19580715 198503
1 011
YPLP PGRI DIKDASMEN
PROP.JAWA BARAT
SMA PGRI
2 SINDANG-INDRAMAYU
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan
kehadirot Allah swt, yang telah memberikan rahmat dan
karunia -
Nya kepada kita, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini
tepat waktu.
Sholawat
serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi
besar Muhammad saw, para shahabatnya, keluarganya dan para pengikutnya.
Terima
kasih yang tak terhingga, kepada Kepala
dan rekan rekan guru SMA
PGRI 2
Sindang-Indramayu, yang telah kerjasama
memberikan motivasi, sehingga
penulis
dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini penulis susun dalam rangka
memenuhi persyaratan untuk kenaikan
Pangkat
dan Golobgan, dan dalam penyusunan makalah ini penulis mengambil dari
berbagai
sumber, oleh karena itu kami sampaikan terima kasih kepda semua pihak
yang
telah memberikan aspirasi dalam penyusunan makalah ini.
Akhirnya mudah-mudahan makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin ya
Robbal
alamin.
Indramayu, 20 Maret 2014
Penulis,
H.
AL ASY’ARI, S. Ag.
i
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ……………………………………………………………………….. ..........i
DAFTAR
ISI ………………………………………………………………………………… ..........ii
BAB I PENDAHULUAN
…………………………………………………………………….. 1
BAB II HUBUNGAN
POLITIK DAN PENDIDIKAN DALAM SEJARAH ………………… 2
A. Hubungan Politik dan
Pendidikan di dunia Islam …………………………… 2
B. Hubungan Politik dan Pendidikan di dunia
Barat ……………………. .............4
C. Hubungan Politik dan Pendidikan di
Indonesia ………………………. ............6
BAB III FUNGSI POLITIK INSTITUSI PENDIDIKAN
………………………………. ...........11
BAB IV PENDIDIKAN POLITIK GENERASI MUDA ………………………………….......... 16
A. Sifat, cara dan sasaran pendidikan
politik …………………………… .............19
B. Landasan dasar Pendidikan Politik
Generasi Muda ………………. ............. 20
BAB V NEGARA SEBAGAI PENYELENGGARA PENDIDIKAN
………………….......... 22
BAB VI KEKUATAN
SOSIAL POLITIK DAN PENGARUHNYA TERHADAP
DUNIA PENDIDIKAN ………………………………………………………… .......... 23
BAB VII PENGARUH ETIKA POLITIK TERHADAP PESERTA DIDIK
…………... ........ 25
BAB VIII KESIMPULAN,
SARAN, DAN PENUTUP …………………………………......... 29
A. Kesimpulan
………………………………………………………………… ......... 29
B. Saran ……………………………………………………………………….............. 29
B. Penutup
…………………………………………………………………….. ......... .29
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Bagi Para pengelola Pendidikan, akhir
akhir ini merasakan betapa Politik dan penguasa ikut mewarnai lembaga - lembaga
Pendidikan, khususnya dalam mengambil kebijakan.
Bagaimana tidak, dalam hal menentukan
nilai atau jumlah pelulusan siswa dalam sebuah lembaga Pendidikan seringkali
dipengaruhi oleh kemauan pejabat daerah yang berwenang, dalam rangka menjaga
reputasi daerah atau Negara di mata
dunia.
Di masa lalu sebagaimana tertuang
dalam sejarah, penguasa memang sangat mempeng- aruhi dunia pendidikan, namun
nuansa dulu dengan nuansa sekarang sangatlah berbeda. Dulu para penguasa dan
politiknya mempengaruhi dunia pendidikan untuk meningkatkan kualitas dan
meperkuat nasionalisme dan keagamaan, sementara sekarang yang lebih ditonjolkan
ada- lah kuantitas dan popularitasnya, walaupun harus melakukan kedustaan dan
kebohongan.
Di zaman sekarang orang-orang yang
berkuasa mampengaruhi dunia Pendidikan dalam rangka mendongkrak popularitas
wilayahnya dari keterpurukan posisinya, yaitu dengan cara memake-up nilai ujian para siswa, tujuannya adalah posisi
ranking daerahnya menjadi menaik dibanding tahun sebelumnya. Lebih-lebih
setelah ada istilah Indek Prestasi ( IP ).
Di samping itu para pejabat dan
orang-orang yang duduk di lembaga-lembaga pendidikan dijadikan agen-agen
kepentingan politik dari partai-partai yang berkuasa, walaupun harus melanggar
undang-undang perpolitikan, dimana PNS tidak boleh berpolitik praktis. Yang
lebih ekstrim lagi, para pejabat yang tidak patuh pada pengua sa, bisa di-nonjob-kan atau dimutasikan ke
daerah-daerah pedalaman.
Oleh karena itu makalah yang penulis
susun mudah - mudahan memberikan pencerahan kepada semua pihak, baik yang berada di koridor politik, maupun yang
berada di koridor pendidikan.
Satu hal lain yang perlu dikembangkan
adalah hubungan keduanya harus tetap
terjalin dengan baik, untuk
menyiapkan generasi penerus bangsa ini, yang akan me-lanjutkan
politisi-politisi dan pemimpin bangsa ini yang memiliki rasa tanggung jawabdalam
membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BAB II
HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN DALAM SEJARAH
A. Hubungan Politik dan Pendidikan di dunia Islam
Di dunia
Islam, keterkaitan antara pendidikan dan politik terlihat jelas. Sejarah
peradaban Islam banyak ditandai
oleh kesungguhan para ulama dan umara dalam
memperhatikan persoalan pendidikan
dalam upaya memperkuat posisi sosial politik
kelompok dan pengikutnya. Dalam
analisisnya tentang pendidikan pada masa Islam
klasik, Rasyid (1994) menyimpulkan
bahwa dalam sejarah perkembangan Islam,
institusi politik ikut mewarnai
corak pendidikan yang dikembangkan. Keterlibatan para
penguasa dalam kegiatan pendidikan
pada waktu itu, menurut Rasyid, tidak hanya
sebatas dukungan moral kepada para
peserta didik, melainkan juga dalam bidang
administrasi, keuangan, dan
kurikulum (1994 : 3). Dia menulis sebagai berikut:
Tidak dipungkiri bahwa lembaga
pendidikan merupakan salah satu konstalasi
politik. Peranan yang dimainkan
oleh masjid-masjid dan madrasah-madrasah dalam
mengokohkan kekuasaan politik para
penguasa dapat dilihat dalam sejarah. Dilain
pihak, ketergantungan kepada
uluran tangan para penguasa secara ekonomis,
membuat lembaga-lembaga tersebut
harus sejalan dengan nuansa politik yang
berlaku (Rasyid, 1994 : 6).”
Diantara lembaga pendidikan Islam yang
menjadi corong pesan-pesan politik,
menurut Rasyid (1994 : 6), adalah
madrasah Nizhamiyah di Baghdad. Dia
menyimpulkan dari analisis
terhadap kasus madrasah Nizhamiyah sebagai berikut:
Kedudukan politik di dalam Islam
sama pentingnya dengan pendidikan. Tanpa
otoritas politik, syariat Islam
sulit bahkan mustahil untuk ditegakkan. Kekuasaan
adalah sarana untuk mempertahankan
syiar Islam…. Pendidikan bergerak dalam
usaha menyadarkan umat untuk
menjalankan syariat. Umat tidak akan mengerti
syariat tanpa pendidikan. Bila
politik (kekuasaan) berfungsi mengayomi dari atas,
maka pendidikan melakukan
pembenahan lewat arus bawah (Rasyid, 1994 : 15).
Kutipan di atas menegaskan bahwa
hubungan antara politik dan pendidikan di dalam Islam tampak demikian erat.
Perkembangan kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para
penguasa, dan para penguasa memerlukan dukungan
institusi-institusi pendidikan
untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka. Hal ini dapat dipahami,
karena tujuan pemerintahan Islam, menurut Abdul Gaffar Aziz (1993 : 95), adalah
“menegakkan kebenaran dan keadilan. Tujuan itu tidak mungkin tercapai kecuali
dengan melaksanakan syariat. Syariat tidak akan berjalan bila umat tidak
memahami ajaran Islam.
Selain karena faktor religius bahwa
agama Islam sangat menjunjung aktivitas kependidikan, perhatian besar pada
pemimpin Islam terhadap masalah pendidikan didorong oleh besarnya peran
lembaga-lembaga pendidikan dalam penyampaian misi-misi politik. Pendidikan
sering dijadikan media dan wadah untuk menanamkan ideologi negara atau tulang
yang menopang kerangka politik. Sjalabi mencatat bahwa Khalifah al-Makmum
memolitisasi majelis mudzakarah di istananya dalam rangka menyebarkan paham
Mu’tazilah yang merupakan mazhab resmi negara waktu itu. Puncak dari tindakan
al-Makmum, menurut Sjalabi, adalah peristiwa inquisisi, yaitu penyelidikan atau
interogasi (al-Mihna) terhadap para ulama dan pejabat penting. Kepada mereka
ditanyakan apakah Alquran itu kadim atau hadis (dikutip dalam Rasyid, 1994 :
16). Melalui inquisi para ulama, pilar penopang lembaga pendidikan dan
pengembangan ilmu pengetahuan secara tidak langsung dipaksa menerima paham
Mu’tazilah, ideologi resmi penguasa.
Pendidikan Islam tidak hanya berjasa
menghasilkan para pejuang yang militan dan memperluas peta politik, tetapi juga
para ulama yang berhasil membangun masyarakat yang sadar hukum. Seiring dengan
perluasan peta politik dan pertambahan pemeluk Islam, juga terjadi perkembangan
lembaga (institusi) pendidikan dalam jumlah maupun varietasnya. Didalam sejarah
Islam tercatat bahwa pusat pendidikan yang pertama kali muncul adalah rumah
Arqam ibn Abi Arqam, yakni ketika nabi masih berada di Makkah (Rasyid, 1994 :
24). Selanjutnya pada masa Bani Umayah, lembaga-lembaga pendidikan Islam
tersebut sudah lebih variatif dengan lahirnya Kuttab dan dijadikan rumah-rumah
pembesar kerajaan sebagai tempat belajar.
Para penguasa Islam, Rasyid (1994 : 33)
menyimpulkan, senantiasa terlibat langsung dalam persoalan pendidikan.
Menurutnya, ada dua alasa utama mengapa para penguasa Muslim sangat peduli
dengan pendidikan. Pertama, karena Islam adalah agama yang totaliter jam’i,
mencakup semua aspek kehidupan seorang Mus
lim mulai dari makan dan minum,
tata cara berumah tangga, urusan sosial kemasyarakatan, sampai pada ibadat
semuanya diatur oleh Syariat. Untuk mengetahui bagaimana hidup yang Islami,
seorang Muslim mesti terlibat dengan kegiatan pendidikan. Kedua, karena
motivasi politik, sebab didalam Islam antara politik dan agama sulit untuk
dipisahkan. Para penguasa Muslim sering menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk
menanamkan paham-paham keagamaan. Inilah yang dilakukan Dinasti Buwaih,
Fatimiyah, dan Khalifah al-Makmun. Dengan kekuasan mereka menanamkan ideologi
negara dengan tujuan lahirnya kesamaan ide antara penguasa dan masyarakat umum
sehingga memudahkan pengaturan masalah-masalah kenegaraan.
B.Hubungan Politik dan Pendidikan
di dunia Barat
Di negara-negara Barat, kajian tentang
hubungan antara pendidikan dan politik dimulai oleh Plato dalam bukunya “republic.”
Walaupun utamanya membahas berbagai
persoalan kenegaraan, buku tersebut juga membahas hubungan antara ideologi dan
institusi negara dengan tujuan dan metode pendidikan. Berikut ini adalah kesan
mendalam Allan Bloom (1987 : 30) tentang republic :
For me (republic is) the book on
education, because it really enplains to me what I experience as a man and a
teacher, and my have almost always used it to point out what we should not hope
for, as a teaching of moderation and resignation.
“Bagiku ( Republik ) adalah buku pelajaran, karena ia adalah benar-benar
memberikan penjelasan kepadaku, berupa pengalaman, baik sebagai seorang manusia
maupun sebagai seorang guru.
Dan saya banyak menggunakannya
untuk memberikan jalan keluar, dimana
kami seharusnya tidak terlalu berharap, sebagai seorang guru yang tidak
berlebihan dan pasrah.”
Plato mendemonstrasikan dalam buku
tersebut bahwa dalam budaya Helenik, sekolah adalah suatu aspek kehidupan yang
terkait dengan lembaga-lembaga politik. Ia menjelaskan bahwa setiap budaya
mempertahankan kontrol atas pendidikan ditangan kelompok-kelompok eliter yang
secara terus menerus menguasai kekuasaan politik, ekonomi, agama, dan
pendidikan. Plato menggambarkan adanya
hubungan dinamis antara aktivitas
kependidikan dan aktivitas politik. Keduanya seakan dua sisi dari satu koin,
tidak mungkin terpisahkan. Walaupun sangat umum dan singkat, analisis Plato
tersebut telah meletakkan fundamental bagi kajian hubungan politik dan
pendidikan dikalangan generasi ilmuwan generasi berikutnya.
Dalam ungkapan Abernethy dan Coomber
(1965 : 287), education and politics are inextricably linked (pendidikan dan
politik terkait tanpa bisa dipisahkan). Menurut mereka (1965 : 289), hubungan
timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek,
yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran
(unemployment), dan peranan politik kaum cendekia (the political rola of the
intelligentsia). Kesempatan dan prestasi pendidikan pada suatu kelompok
masyarakat, menurut mereka, dapat memengaruhi akses kelompok tersebut dalam
bidang sosial, politik dan ekonomi. Perbedaan signifikan antar berbagai
kelompok masyarakat yang disebabkan oleh perbedaan pendidikan dapat dilihat
pada distribusi kekuasaan politik dan ekonomi dan kesempatan kerja, khususnya
pada sektor pelayanan publik. Di negara-negara pascakolonial, kelompok
masyarakat yang mendapat privilase pendidikan lebih mampu melakukan konsolidasi
kekuatan, lalu muncul menjadi kelompok penguasa yang menguasai partai-partai
politik dan sektor pelayanan publik. Privilase atau diskriminasi pendidikan
bisa terjadi karena alasan-alasan budaya atau agama.
Diskriminasi seperti ini sangat nyata
dalam kebijakan pendidikan pemerintah kolonial. Belanda di Indonesia. Penulis
mencatat beberapa karakteristik kebijakan pendidikan pemerintah kolonial
Belanda : kolonialistik, intelektualistik, heterogen, diskriminatif, dan
self-morning, diarahkan semata-mata untuk kepentingan kolonialisme. Kebijakan
pendidikan tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat pada waktu itu, yaitu
(1) Menimbulkan konflik keagamaan antara kelompok Muslim dan kelompok non
Muslim; (2) Menciptakan divisi sosial dan kesenjangan budaya antara kelompok
minoritas angkatan muda Indonesia yang berasal dari kelas menengah ke atas dan
kelompok angkatan muda Indonesia yang berasal dari keluarga biasa; (3) Menciptakan
polarisasi sosial tanpa memedulikan kemampuan kerja mereka; dan (4) Menghambat
perkembangan kaum pribumi (Sirozi, 1998 : 17-29). Pada masa awal kemerdekaan,
kaum nasionalis dapat menguasai birokrasi dan sektor-sektor strategis.
C. Hubungan Politik dan Pendidikan
di Indonesia
1. Hubungan Penguasa dengan Kelompok
Masyarakat
Dalam banyak kasus, hubungan kekuasaan
antar berbagai kelompok masyarakat banyak dipengaruhi oleh kesempatan dan intensitas
respons mereka terhadap pendidikan barat. Ketika bangsa Indonesia baru merdeka,
partai-partai politik dan lembaga-lembaga kenegaraan banyak dikuasai oleh
tokoh-tokoh sekuler berpendidikan Barat yang tergabung dalam
organisasi-organisasi nasionalis, seperti Boedi Oetomo dan Partai Nasionalis
Indonesia (PNI).
Kelompok masyarakat yang merasa tertekan
dan menjadi korban imperialisme budaya cenderung menginginkan sistem pendidikan
terpisah, dalam rangka melindungi identitas kelompok mereka. Inilah yang
terjadi pada sistem pendidikan Islam tradisional di Indonesia, khususnya
pesantren. Dibawah tekanan kelompok-kelompok bahasa dan agama minoritas,
beberapa pemerintah memenuhi tuntutan mereka, sementara yang lainnya memaksakan
penyeragaman sistem pendidikan, dengan harapan dapat mengeliminasi bahaya laten
perpecahan sosial. Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memberi
peluang kepada berbagai kelompok etnis dan keagamaan untuk mengembangkan
pendidikan tersendiri sehingga lahirlah Sekolah Arab, Sekolah Cina, Sekolah
Kristen, Sekolah Islam, Sekolah Budha, dan Sekolah Hindu.
Bertahan atau tidaknya sistem pendidikan
tunggal dalam masyarakat pluralis umumnya tergantung pada dua hal, yakni sistem
tersebut memberi kesempatan yang sama (equality of opportunity) pada semua
kelompok masyarakat, dan generasi muda mengalami bahwa belajar bersama dapat
mencairkan perbedaan-perbedaan sosial mereka (Abernethy dan Coombe, 1965 :
290). Di negara-negara berkembang, banyak pemimpin yang berasal dari sekolah
yang sama. Meskipun mereka berbeda dalam hal asal daerah, agama dan suku. Akbar
Tanjung yang berasal dari Sibolga, misalnya ternyata berasal dari SMP yang sama
dengan Megawati yang dibesarkan di Jakarta, yaitu SMP Cikini.
Hal ini tidak mungkin terjadi jika
tidak ada equality of opportunity dalam sistem pendidikan nasional. Kesempatan
yang sama telah memungkinkan anak-anak negeri yang memiliki latar belakang
sosial budaya berbeda-beda untuk belajar bersama dan mencairkan
perbedaan-perbedaan sosial dan ekonomi di antara mereka.
6
2. Hubungan Pendidikan dan Dunia Kerja
Pendidikan dan dunia kerja memiliki
hubungan yang sangat kompleks. Salah satu inovasi paling radikal yang
disebabkan oleh pendidikan adalah meningkatnya ambisi pribadi. Pendidikanlah
yang membuat jutaan anak petani di negara-negara berkembang menilai rendah
profesi sebagai petani dan bermigrasi ke daerah perkotaan untuk mendapatkan
pekerjaan yang dinilai lebih menjanjikan, baik dari segi ekonomi maupun
prestise sosial. Mereka pergi meninggalkan desa-desa subsistem untuk memburu
pekerjaan yang mereka nilai lebih pantas buat mereka, meskipun harus bermigrasi
jauh meninggalkan kampung halaman dan basis sosio-kultural mereka.
Namun, tingkat pendidikan dan
keterampilan yang tidak memadai sering membuat mereka gagal dan perburuan
mereka ke wilayah perkotaan sering berakhir dengan kekecewaan. Untuk
mempertahankan ambisi dan atau menghindari rasa malu pulang kampung dengan
kegagalan, banyak diantara mereka yang memaksakan diri tinggal di kota meskipun
harus mengarungi hidup dengan kondisi seadanya. Hal ini tampak jelas dalam
kehidupan para buruh yang tinggal disekitar wilayah Jakarta Bogor Tanggerang
Bekasi (Jabotabek). Banyak di antara mereka yang hidup dengan upah rendah dan
tinggal dirumah sewaan yang sangat sederhana. Akibatnya, semakin hari semakin
banyak warga perkotaan yang menyandang predikat pengangguran. Kelompok
pengangguran ini sering kali menjadi “dinamit politik” yang dengan mudah dapat
dipicu olah kelompok-kelompok politik tertentu untuk mendapatkan keuntungan
politik. Para buruh sering kali menjadi elemen utama dalam berbagai unjuk rasa
politik.
Masalah pengangguran menjadi ujian
penting bagi pemerintah di negara-negara-negara berkembang. Mereka dituntut
untuk mengimbangi keberhasilan pendidikan dengan ketersediaan lapangan kerja.
Di satu pihak, ekspansi pendidikan turut serta melahirkan instabilitas karena
pendidikan melahirkan tuntutan yang sering kali tidak dapat dijawab oleh sistem
politik. Dipihak lain, tersedianya pendidikan yang cukup disemua jenjang adalah
persyaratan yang diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik. Hanya dengan
sumber daya manusia yang terlatih dan kesempatan kerja yang memadai pemerintah
dan birokrasinya dapat memenuhi tuntutan publik, dan hanya publik yang terdidik
yang dapat diminta turut serta bertanggung jawab dalam pembangunan bangsa
(nation building).
Keterkaitan
antara pendidikan dan politik berimplikasi pada semua dataran, baik pada
dataran filosofis maupun dataran kebijakan. Misalnya, filsafat pendidikan
disuatu negara sering kali merupakan refleksi prinsip ideologis yang diadopsi
oleh negara tersebut. Di Indonesia, misalnya filsafat pendidikan nasional
adalah artikulasi peadagogis dari nilai-nilai yang terdapat pada Pancasila dan
Undang-Udang Dasar 1945 pada dataran kebijakan, sangat sulit memisahkan antara
kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah disuatu negara
dengan persepsi dan kepercayaan politik yang ada pada pemerintah tersebut.
Abernethy dan Coombe (1965 : 287) menulis sebagai berikut :
A government’s education policy reflects,
and sometimes betrays, its view of society or political creed. The formulation
of policy, being a function of government, is essentially part of the political
process, as are the demands made on goverments by the public for its revision
(kebijakan pendidikan suatu pemerintahan merefleksikan dan terkadang merusak
pandangannya terhadap masyarakat atau keyakinan politik. Sebagai fungsi
pemerintahan, formulasi kebijakan secara esensial merupakan bagian dari proses
politik, sebagai tuntutan-tuntutan publik terhadap pemerintah untuk melakukan
perubahan.
Pada gilirannya, implementari dari suatu
kebijakan pendidikan berdampak pada kehidupan politik. Berbagai kebijakan
pendidikan berdampak langsung pada akses, minat, dan kepentingan pendidikan
para stakeholder pendidikan, terutama orang tua dan peserta didik, dan
masyarakat pada umumnya. Abernethy dan Coombe (1965 : 287) mencatat empat
aspek. Kehidupan masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan – kebijakan
pendidikan yang dibuat oleh pemerintah, yaitu lapangan kerja, mobilitas sosial,
ide-ide, dan sikap. Mereka menulis
And the implementation of education
policy has political consequences by affecting, among other things, types and
levels of employment, social mobility, and the ideas and attitudes of
population (dan implementasi kebijakan pendidikan memiliki berbagai konsekuensi
politik dengan mempengaruhi antara lain jenis dan jenjang pekerjaan, mobilitas
sosial, dan ide-ide dan sikap-sikap masyarakat).
Dinamika hubungan timbal balik antara
pendidikan dan politik dalam suatu masyarakat terus meningkat, seiring dengan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat tersebut.
Di negara-negara berkembang,
dinamika tersebut cenderung lebih tinggi karena perubahan-perubahan dinegara-negara
tersebut terjadi lebih intens. Intensitas perubahan tersebut sangat nyata dalam
proses yang menghantarkan negara-negara jajahan menuju kemerdekaan. Abernethy
dan Coombe (1965 : 287) mengamati hal-hal berikut ini.
In general, the political significance
of education in contemporary societies increases with the degree
of change a society in undergoing. The massive
changes which developing countries have already experienced and those, whether
induced of not, which are in process, render all the more conspicous the
reciprocal relationship between politics and education in these areas (secara
umum, signifikansi politik pendidikan dalam masyarakat kontemporer meningkat
dengan derajat perubahan yang sedang berlangsung dalam masyarakat.
Perubahan-perubahan besar yang telah dialami oleh negara-negara berkembang dan
perubahan-perubahan, baik yang disengajar atau tidak disengaja, yang sedang
berproses, semuanya memperlihatkan hubungan timbal balik antara politik dan
pendidikan).
Kutipan di atas paling tidak
menggambarkan tiga hal. Pertama, eratnya hubungan antara dunia pendidikan dan
dunia politik. Kedua, besarnya pengaruh hubungan tersebut terhadap tatanan
kehidupan sosial politik masyarakat. Ketiga, besarnya peran persekolahan modern
dalam keruntuhan kolonilalisme. Abernethy dan Coombe (1965 : 287) menulis
sebagai berikut :
Impressive evidence of this
relationship (between education and politics) may be found in the progress of
colonies towards independence. The contribution of western education to the
eclipses of western colonialism is now fairly well understood, at least
schematically (bukti impresif tentang hubungan (antara pendidikan dan politik)
dapat dilihat pada perjalanan negara-negara jajahan menuju kemerdekaan.
Kontribusi pendidikan Barat terhadap keterpurukan kolonialisme barat saat ini
ckup dimengerti, paling tidak secara skematik).
Para penghancur kolonialisme
adalah para pemimpin yang dididik di sekolah-sekolah kolonial. Abernethy dan
Coombe (1965 : 287) menambahkan penjelasan sebagai berikut :
The crux of the matter is that the
sucessive generations of who becoma nationalist leaders had attended colonial
schools and metropolitan universities. The values, the vocabulary, and the
organizational methods the derived from the political traditions of the west
were employed, successfully in the long run, in combating colonial rule (inti
persoalan adalah dari generasi ke generasi para pemimpin nasionalis adalah
mereka yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah kolonial dan
universitas-universitas metropolitan. Nilai-nilai, kosa kata, dan metode-metode
organisasi yang mereka contoh dari tradisi politik di barat mereka terapkan dan
sukses dalam jangka waktu lama untuk menyerang penguasa kolonial).
Besarnya
peran sistem persekolahan dalam meruntuhkan kolonialisme terlihat jelas dalam
pengalaman bangsa Indonesia. Pada satu sisi, kebijakan politik pemerintah
kolonial, politik etis, misalnya, telah memperluas akses pendidikan bagi kaum
pribumi, khususnya para aktivitas nasionalis. Pada sisi lain, bekal pendidikan
yang diperoleh telah memperluas wawasan sosial politik mereka dan pada saat
yang sama memperkuat sentimen kebangsaan mereka. Wawasan dan sentimen
kebangsaan itulah yang kemudian memacu aktivitas politik mereka dan menumbuhkan
semangat perlawanan mereka terhadap pemerintah kolonial pada waktu itu.
Pemerintah kolonial pada waktu itu tentu
saja berharap bahwa bekal pendidikan yang lebih baik dapat meningkatkan
loyalitas tokoh-tokoh pribumi. Namun, kenyataan berkata lain, tokoh-tokoh
tersebut justru berkembang menjadi figur utama dalam gerakan nasionalis yang
menggugat kolinialisme. Inilah yang terjadi pada sosok Bung Karno, Bung Hatta,
Bung Tomo dan tokoh-tokoh nasionalis lainnya. Terlepas dari berbagai implikasi
sosial politik yang menyertainya, pengalaman pendidikan dan kiprah politik
tokoh-tokoh nasionalis tersebut mempertegas eratnya hubungan antara pendidikan
dan politik.
BAB III
FUNGSI POLITIK INSTITUSI
PENDIDIKAN
Hubungan antara pendidikan dan politik
bukan sekedar hubungan saling mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional.
Lembaga-lembaga dan proses pendidikan menjalankan sejumlah fungsi politik yang
signifikan. Mungkin yang terpenting dari fungsi-fungsi tersebut bahwa
sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya menjadi agen-agen sosialisasi
politik. Lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat dimana individu-individu,
terutama anak-anak dan generasi muda, mempelajari sikap-sikap dan perasaan
tentang sistem politik, dan sejenis peran politik yang diharapkan dari mereka.
Bab ini menjelaskan beberapa fungsi
politik pendidikan besar segala implikasinya, baik terhadap dinamika kehidupan
politik dan pendidikan itu sendiri maupun implikasinya terhadan tatanan kehidupan
masyarakat pada umumnya.
Institusi Pendidikan Sebagai Alat
Kekuasaan?
Berbagai institusi pendidikan yang ada
dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk
sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki. Berbagai aspek pembelajaran,
terutama kurikulum dan bahan-bahan bacaan, sering kali diarahkan pada
kepentingan politik tertentu. Eliot (1959 : 1046) menulis sebagai berikut :
Although political power is centered in
groups and inviduals, its effectiveness and use are shaped by institutions. The
institutional patter of public education may seem firmly fixed, firmly enough,
certainly, so that any proposal, to have a chance of success, must appear to
conform to it (walaupun kekuasaan politik terpusat pada berbagai kelompok dan
individ, efektivitas dan kegunaannya dibentuk oleh berbagai institusi. Pola
institusional pendidikan publik mungkin saja tampak kokoh, cukup mantap,
sehingga untuk dapat berhasil, setiap proposal perlu menyesuaikan diri
dengannya).
Eliot
(1959 : 1047) menambahkan bahwa salah satu komponen terpenting pendidikan,
kurikulum, misalnya, dapat menjadi media sosialisasi politik. Menurutnya,
kurikulum disuatu lembaga
pendidikan memiliki tiga sumber utama. Pertama, pendapat kelompok profesional
pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh institusi-institusi pelatihan guru dan
sering kali merefleksikan atau mengadaptasi ide dari individu-indovidu yang
didewa-dewakan, seperti John Dewey, John Lock, dan Wiliam Stern. Kedua,
kebutuhan akan dana. Kebutuhan ini sering menyebabkan terjadinya modifikasi
program untuk mengantisipasi tuntutan publik. Ketiga, aktivitas
kelompok-kelompok berpengaruh, seperti sosiasi industri, perserikatan, dan
beberapa organisasi kebangsaan yang memiliki semangat patriotik. Berbagai
kelompok tersebut sering memengaruhi isi kurikulum dan sulit dicegah. Fungsi
politik pendidikan secara khusus juga dapat diaktualisasikan melalui proses
pembelajaran. Menurut Massialas (1969a : 18-79 dan 1969b : 155), proses
pembelajaran bisa bersifat kognitif (misalnya, mendapatkan pengetahuan dasar
tentang suatu sistem), bisa bersifat afektif (misalnya, mengetahui sikap-sikap
positif dan negatif terhadap penguasa atau simbol-simbol), bisa bersifat
evaluatif (misalnya, menilai peran-peran politik berdasarkan standar tertentu),
atau bisa bersifat motivatif (misalnya, penanaman rasa ingin berpartisipasi).
Sebagian besar unsur-unsur pembelajaran tersebut dapat dirancang dan diarahkan
sedemikian rupa untuk memenuhi tuntutan politik tertentu.
Di banyak negara totaliter dan
negara berkembang, pemimpin politik sangat menyadari fungsi pendidikan dalam
mencapai tujuan-tujuan politik. Mereka melakkan berbagai cara untuk mengontrol
sistem pendidikan dan menitipkan pesan-pesan politik melalui metode an bahan
ajar (curriculum content) pendidikan. Dinegara-negara komunis, misalnya, metode
brain washing digunakan secara luas untuk membentuk pola pikir kaum muda, agar
sejalan dengan doktrin komunisme.
Dari generasi ke generasi negarawan dan
pemimpin politik telah menyadari dampak yang dapat ditimbulkan oleh sistem
pendidikan terhadap kehidupan politik. Mereka menyadari bahwa negara tidak
dapat mengabaikan sekolah jika ingin mencapai tujuan-tujuannya, termasuk tujuan
untuk mempertahankan kekuasaan. Mengingat besarnya peluang untuk
mengarahkan berbagai unsur kependidikan pada kebutuhan politik tertentu, tidak
heran apabila pendidikan sering kali memainkan peran sentral dalam menentukan
arah perubahan politik.
Stabilisasi atau transformasi politik
banyak ditentukan oleh faktor pendidikan. Manakala terjadi tranformasi radikal
dalam sistem politik, misalnya setelah revolusi
12
Prancis dan Rusia, salah satu
langkah utama yang dilakukan oleh para penguasa disana adalah menata sistem
pendidikan. Penguasa yang baru dengan cepat berusaha mereformasi dan menerapkan
sistem pendidikan yang sesuai dengan tujuan-tujuannya. Para penguasa yang baru
naik tahta saat itu menyadari sepenuhnya bahwa keberhasilan dan kontinuitas
rezim mereka berkaitan dengan ide-ide dan pola-pola perilaku yang ditransmisi
melalui fasilitas kependidikan. Kesadaran ini mungkin saja salah, tetapi ini
adalah suatu persoalan hubungan antara pendidikan dan politik yang memerlukan
penjelasan melalui penelitian terencana. Penjelasan atas persoalan tersebut
akan dapat mengungkapkan kontribusi pendidikan terhadap integrasi dan ketahanan
sistem politik.
Di Indonesia, misalnya, daya tahan rezim
Soeharto selama 32 tahun banyak melibatkan kebijakan-kebijakan kontroversial
dalam bidang pendidikan, baik menyangkut pengelolaan maupun kurikulum dan
kegiatan pembelajaran. Misalnya, kebijakan tentang kurikulum Pendidikan Agama,
Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan kebijakan tentang seragam sekolah,
khususnya tentang hak mengenakan jilbab bagi siswi disekolah umum.
Kebijakan-kebijakan tersebut banyak dipengaruhi oleh tekad bulat para penguasa
rezim untuk menjadikan Indonesia sebagai negara sekular berlandaskan Pancasila.
Bahan ajar untuk bidang studi sejarah, agama dan kenegaraan didisain sedemikian
rupa, sesuai dengan visi dan misi politik penguasa rezim. Di Malaysia, konflik
pribadi antara Mahathir Muhamamd dan Anwar Ibrahim berimplikasi pada kebijakan
pemerintah terhadap Universitas Islam Antara Bangsa atau International Islamic
University Malaysia (IIUM) dimana Anwar Ibrahim adalah salah seorang
pendirinya. Sejak konflik tersebut merebak, berbagai kegiatan dilingkungan
universitas tersebut mendapat pengawasan ketat dari pemerintah Mahathir. Untuk
mencegah berkembangnya sikap anti pemerintah diperguruan tinggi tersebut,
pemerintah Mahathir telah melakukan pengawasan ketat terhadap kegiatan akademik
di kampus IIUM. Sebagai implikasi dari kebijakan pemerintah Mahathir terhadap
para para pelaku terorisme dan kelompok-kelompok Islam garis keras di negeri
itu, telah dilakukan pengurangan subsidi terhadap sekolah-sekolah agama yang
ada disana.
Di Indonesia, hal serupa terjdi dalam
kasus pelarangan oleh pemerintah Orde Baru terhadap rencana keluarga Bung Karno
untuk mendirikan Universitas Bung Karno di Jakarta.
Pertentangan politik antara rezim
Orde Baru dengan keluarga Bung Karno ternyata terbawa kedalam wilayah kebijakan
pendidikan.
Era reformasi yang ditandai dengan
kejatuhan rezim Soeharto pada 1998 telah membawa perubahan mendasar pada
beberapa aspek pengelolaan sistem pendidikan nasional. Salah satu aspek
perubahan yang cukup mendasar adalah bergesernya paradigma pengelolaan sistem
pendidikan nasional dari paradigma sentralisasi ke desentralisasi. Jika selama
masa Orde Baru otoritas pendidikan dikabupaten dan kota hanya merupakan
perpanjangan tangan dari otoritas pendidikan pusat dan provinsi, maka pada era
reformasi sekarang ini otoritas pendidikan kabupaten dan kota dituntut lebih
aktif dan kreatif dalam menata sistem pendidikan masing-masing. Inilah semangat
otonimasi yang tergambar dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
pemerintah daerah.
Untuk menunjang proses otonomisasi,
sekolah-sekolah yang sebelumnya hanya merupakan unit pelaksana yang hanya
menerima berbagai kebijakan kependidikan yang ditetapkan oleh otoritas
pendidikan dipusat dan daerah, saat ini diharapkan lebih memiliki kemampuan
self-sufficient dan selfulfilment. Inilah salah satu alasan mengapa sejak 1998
pihak Departeman Pendidikan Nasional telah menjalankan pilot project penerapan
School Based Management (SBM) di sejumlah sekolah diseluruh Indonesia. Untuk
memperkuat daya dukung sektor pendidikan terhadap gerakan reformasi dan
mendongkrak daya saing sumber daya manusia nasional, otoritas pendidikan di
Indonesia, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, telah berketetapan
untuk meninggalkan content based curriculum dan memberlakukan competency based
curriculum. Untuk memacu partisipasi pada stakeholder pendidikan, pihak
Departemen Pendidikan Nasional juga telah mengembangkan konsep community based
education. Saat ini disekolah-sekolah telah dibentuk Komite Sekolah dan Komite
Madrasah telah dibentuk komite Madrasah yang keanggotaannya merupakan
perwakilan dari para stakeholder. Untuk mem-back up pemerintah provinsi,
kabupaten dan kota dalam mendisain dan mengembangkan program-program
pendidikan, maka dibeberapa provinsi sudah dibentuk Dewan Pertimbangan
Pendidikan Daerah yang keanggotaannya terdiri dari para pakar pendidikan yang
ada didaerah
Di tingkat perguruan tinggi, pemerintah
juga telah memberlakukan kebijakan serupa melalui Peraturan Pemerintah Nomor 61
tahun 1999 dengan nama lima perguruan tinggi utama (Universitas Indonesia,
Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Gajah Mada, Universitas Diponegoro,
dan Universitas Pajajaran) telah dijadikan sebagai pilot project perguruan
tinggi berbadan hukum, bahwa lima perguruan tinggi tersebut berubah status dari
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Dengan
perubahan status tersebut diberi kebebasan untuk mencari, memanfaatkan dan
mengembangkan dana serta program perkuliahan. Pengelolaan dana pada BHMN
diharapkan tidak lagi bersifat project oriented, tetapi profit oriented. Para
pimpinan BHMN diberi kebebasan sepenuhnya untuk mengembangkan sumber-sumber
dana, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai akademik.
BAB IV
PENDIDIKAN POLITIK GENERASI MUDA
Kaum muda, khususnya pemuda pergerakan di
Indonesia yang telah menunjukkan peranan aktif dalam sejarah perjuangan bangsa
dihampir setiap zaman yang berbeda, untuk masa kini masih perlu meningkatkan
kemampuannya, baik disektor pendidikan formal, maupun disektor pendidikan
politik sebagai kader-kader bangsa dalam rangka regenerasi kepemimpinan
politik.
Peranan pemuda dalam pembangunan politik
Indonesia sebagai suatu angkatan yang berusia strategis, baik dimasa lalu, masa
kini dan esok tak diragukan lagi merupakan potensi dominan yang ikut menentukan
jalannya sejarah Republik Proklamasi.
Berdasarkan asumsi tersebut kita dapat
membenarkan usaha-usaha pemerintah yang serius dalam menangani pembinaan
generasi mudah. Dalam rangka penyusunan suatu kebijaksanaan nasional tentang
kepemudaan secara menyeluruh dan terpadu, sebagai yang ditetapkan GBHN, maka
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan Keputusan No. 0323/U/1978
tanggal 28 Oktober 1978 (bertepatan dengan HUT 50 tahun Sumpah Pemuda) tentang
Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda.
Arah dan tujuan pembinaan generasi muda
tersebut adalah demi pengembangan keselarasan dan keutuhan hubungan antara :
manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai insan yang ber-Ketuhanan, beriman dan
bertaqwa kepada-Nya, serta mengamalkan ajaran-ajaran-Nya berbudi pekerti luhur
dan bermoral Pancasila, juga antara manusia dan masyarakatnya, sebagai insan
sosial-budaya, sosial politik dan sosial ekonomi. Manusia perorangan, sebagai
pribadi, yang merupakan insan biologis, insan intelek dan insan kerja yang
mampu mengembangkan bakat jasmaniah dan rohaniah.
Tujuan pembinaan dan pengembangan
generasi muda menurut pola dasar tersebut diatas, adalah :
(1) Memantapkan persatuan dan
kesatuan bangsa sesuai dengan jiwa dan semangat
Sumpah Pemuda 1928.
(2) Mewujudkan kader penerus
perjuangan bangsa dan pembangunan nasional.
Strategi pembinaan dan
pengembangan generasi muda sebagaimana diungkapkan dalam GBHN produk MPR tahun
1978 adalah :
(1) Pembinaan generasi muda
diarahkan untuk mempersiapkan kader penerus perjuangan bangsa dan pembangunan
nasional dengan memberikan bekal keterampilan, kesegaran jasmani, daya kreasi,
patriotisme, idealisme dan budi pekerti luhur. Untuk itu perlu diciptakan iklim
yang sehat, sehingga memungkinkan kreativitas generasi muda berkembang secara
wajar dan bertanggung jawab.
(2) Pengembangan wadah pembinaan
generasi muda seperti sekolah, organisasi fungsional pemuda seperti KNPI,
Pramuka, organisasi olah raga dan lain-lainnya perlu terus ditingkatkan.
(3) Perlu diwujudkan suatu
kebijaksanaan nasional tentang kepemudaan secara menyeluruh dan terpadu.
Sementara itu sasaran pembinaan
dan pengembangan generasi muda, meliputi :
(1) Pembinaan kerohanian,
kepribadian dan kebudayaan. Agar generasi muda benar-benar menjadi manusia yang
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur dan berkepribadian
Pancasila.
(2) Sasaran pembinaan jasmaniah,
agar generasi muda memiliki jasmani yang sehat, segar dan tangkas serta
terampil, yang mampu melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik-baiknya.
(3) Sasaran pembinaan dan
pengembangan intelek, adalah agar generasi muda mampu berfikir secara rasional,
untuk menyerap dan mendayagunakan ilmu dan teknologi sesuai dengan perkembangan
bangsa-bangsa didunia.
(4) Sasaran pembinaan dan
pengembangan kerja dan profesi adalah agar generasi
muda mampu menjadi tenaga kerja
yang produktif dan kreatif guna menciptakan lapangan kerja dan berwiraswasta
serta bertanggung jawab.
(5) Sasaran pembinaan ideologi
adalah agar generasi muda menjadi penerus perjuangan bangsa dan pembangunan
nasional dalam rangka pencapaian cita-cita nasional.
(6) Sasaran pembinaan patriotisme
dan disiplin nasional agar generasi muda mampu menjadi patriot bangsa yang
cinta kepada tanah air dan bangsa Indonesia.
(7) Sasaran pembinaan dan
pengembangan kepemimpinan agar generasi muda mampu menjadi kader-kader pemimpin
bangsanya yang cakap, bijaksana, berkepribadian, bertanggung jawab, dan penuh
pengabdian.
Generasi muda ABRI adalah bagian dari
generasi muda pada umumnya, karenanya pembinaannya pun tidak dapat terlepas
dari pola pembinaan dan pengembangan generasi muda yang telah diuraikan di
atas, namun tentunya dengan pembinaan dan pengembangan yang lebih khusus sesuai
dengan tugas dan fungsi ABRI baik sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan
negara maupun kekuatan sosial.
Selain itu, menurut Jenderal
Purnawirawan Surono yang adalah Ketua Umum DHN Angkatan 45 (Pusat), mungkin
hanya ABRI satu-satunya lembaga yang sejak penyusunan Doktrin-Doktrin TNI-AD,
TNI-AL, TNI-AU, dan POLRI dahulu hingga keluarnya Doktrin Hankamnas/ABRI “catur
dharma eka karma” secara konsepsional telah merumuskan pola-pola kepemimpinan
ABRI. Kita mengetahui bahwa dalam seminar TNI-AD ke II di SESKOAD Bandung dalam
bulan Maret 1972, telah dibahas mendalam masalah bagaimana cara melestarikan
nilai-nilai 45 dan nilai-nilai TNI kepada generasi muda ABRI antara lain
nilai-nilai kepemimpinan ABRI yang terdiri dari 11 azas kepemimpinan. Seminar
tersebut sebagaimana diketahui telah menelorkan produk berupa “Dharma Pusaka”.
Salah satu sarana pembinaan generasi
muda dalam rangka mempersiapkan diri menyongsong hari depan bangsa adalah
dengan memberinya program pendidikan politik.
Pengertian pendidikan politik menurut
Surono adalah setiap upaya untuk memasyarakatkan politik, dalam arti
mencerdaskan kehidupan rakyat dalam hal bernegara dan berbangsa, serta
meningkatkan kepekaan rakyat akan hak, kewajiban dan tanggung jawab terhadap bangsa
dan negara.
Karena pendidikan politik dalam hubungan
ini tidak lain adalah untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara,
maka politik dalam hal ini bukanlah berarti politik dalam artinya yang sempit,
yakni untuk mengejar tujuan kenegeraan yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok
sosial politik tertentu, melainkan politik dalam artinya yang sangat luas, yang
meliputi segala aspek kehidupan bangsa dan negara, baik dibidang ideologi dan
politik, maupun dibidang ekonomi, sosial, hukum, kebudayaan, agama, pertahanan
keamanan dan lain sebagainya.
“Saya sengaja menjelskan hal
tersebut karena pada khalayak ramai masalah ini sering diperdebatkan, dan bahan
disalahtafsirkan sebagai suatu indokrinasi politik agama baru. Hal ini dapat
kita mengerti karena sebagai akibat masa perjuangan yang lalu dimana sebelum
tahun 1966 politik pernah merajai kehidupan bangsa, dan kemudian menjerumuskan
kehidupan bangsa dalam lembah kehancuran sebagai akibat kesalahan fatal G.
30.S/PKI, maka semenjak era Orde Baru dan kemudian dengan dimulainya Repelita I
pada tahun 1969, disementara kalangan masyarakat hingga sekarang masih terdapat
sisa-sisa rasa takut terhadap kehidupan politik, atau “political phobia”,
lanjut Surono.
A. Sifat, cara dan sasaran
pendidikan politik
Seperti juga halnya dengan program
pendidikan pada umumnya yang bersifat lanjut terus seumur hidup manusia
(life-long), juga pendidikan politik harus bersifat terus berlanjut seumur
hidup manusia.
Oleh karena pendidikan politik
berlangsung seumur hidup, sebagaimana pendidikan umum, maka pendidikan politik
harus menjadi beban dan tanggung jawab yang harus dipikul bersama-sama oleh
pemerintah dan masyarakat. Bahkan dalam kehidupan politik dan pendidikan
politik peranan masyarakat sangat menentukan.
Pendidikan politik dapat ditempuh
melalui 2 cara, yakni secara formal dan non formal.
Cara formal ialah cara pendidikan melalui
bangku sekolah, kursus-kursus. Cara non formal ialah cara pendidikan
dilingkungan keluarga dan masyarakat luas.
Sebagaimana telah diungkapkan oleh
Presiden Soeharto dalam salah satu Pidato kenegaraannya, dasawarsa ini setelah
lebih dari 1 generasi memegang kendali kenegaraan, angkatan 45 secara bertahap
telah mulai melimpahkan tanggungjawabanya kepada generasi yang lebih muda, yang
sering kita sebut dengan generasi penerus, yakni mereka yang akan meneruskan
perjuangan bangsa dan pembangunan nasional. Dikatakan bertahap karena
pelimpahan tugas dan tanggungjawab kenegaraan ini tidak dapat berlaku sekaligus,
dalam arti pada saat yang sama semua orang yang berasal dari Angkatan 45
sekaligus digantikan oleh generasi yang lebih muda. Peralihan generasi dan
tanggung jawab dilaksanakan melalui proses evolusi dan bukan melalui suatu
revolusi, karena proses peralihan generasi itu sendiri adalah alamiah dan
manusiawi. Justru karena dilakukan secara bertahap itulah segi kontinuitasnya
dapat kita percepat atau kita perlambat, karena semisal buah ara di pohon, ia
matang secara alamiah, tidak dapat kita percepat atau kita perlambat. Buah
durian pun apabila sudah matang, ia akan jatuh sendiri. Yang penting bagi
generasi yang lebih tua ialah untuk menjaga agar pohon itu tumbuh subur hingga
berbuah dan matang dipohonnya.
B. Landasan dasar Pendidikan
Politik Generasi Muda
Sebagai telah dikemukakan di atas,
maksud pendidikan politik ialah untuk meningkatkan kesadaran setiap warga
negara termasuk generasi muda umumnya, dan pemuda pergerakan khususnya, dalam
berbangsa dan bernegara. Landasan utama dan yang terutama dalam rangka
pendidikan politik bagi segenap masyarakat Indonesia adalah usaha sosialisasi
Pancasila dan UUD 1945, demi terciptanya suasana dan harapan yang sesuai dengan
cita-cita kemerdekaan bangsa kita. Disamping itu usaha untuk lebih
memasyarakatkan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi nasional serta UUD 1945
tersebut adalah jawaban atas tantangan masa depan, agar tidak lagi terulang
berbagai kemelut nasional yang diakibatkan oleh konflik-konflik ideologis.
Sebagaimana diungkapkan Presiden
Soeharto, sejarah telah membuktikan bahwa tiap kali Pancasila dan UUD 1945
berusaha untuk diselewengkan oleh golongan-golongan tertentu yang menganut
paham dan atau ideologi asing yang tidak sesuai dengan kepribadian dan
sosiokultural bangsa kita, maka pada waktu itupun bangsa kita berada di ambang
kehancuran.
Oleh karena itu, dengan berlakunya
ketentuan perundang-undangan, dimana setiap organisasi sosial politik di
Indonesia hanya akan menggunakan landasan atau satu azas yaitu Pancasila (UU-RI
No. 5 Tahun 1985), diharapkan pengalaman-pengalaman sejarah masa lalu tersebut
tidak akan terulang lagi. Hal inipun merupakan upaya untuk meringankan
beban-beban masa depan yang akan dipikul oleh generasi muda bangsa Indonesia di
dalam perjalanan sejarahnya.
BAB V
NEGARA SEBAGAI PENYELENGGARA
PENDIDIKAN
Dalam Islam, negaralah yang
berkewajiban untuk mengurus dan mengatur segala aspek yang berkaitan dengan
pendidikan yang diterapkan, negara wajib mengupayakan agar pendidikan dapat
diperoleh warganegara secara mudah. Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda “Seorang
Imam (Khalifah/Kepala Negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat; ia
akan diminta pertanggung-jawaban atas urusan rakyatnya (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)”
Berkenaan dengan hadis tersebut
diatas, di Damaskus pada abad ke-6 Hijriah didirikan Perguruan Tinggi An-Nuriah
oleh Khalifah Nuruddin Muhammad Zanky. Dilembaga ini terdapat berbagai
fasilitas pendidikan seperti, ruang diskusi, ruang belajar, perpustakan yang
lengkap, laboratorium, semunya dipersiapkan oleh Negara. Disamping itu, juga terdapat
asrama mahasiswa dan asrama dosen dan lain sebagainya. Kesemuanya disiapkan
untuk memudahkan para mahasiswa untuk melakukan penelitian dan pengkajian
sehingga kreativitas untuk mencapai daya ciptanya yang diperlukan oleh
masyarakat.
BAB VI
KEKUATAN SOSIAL POLITIK DAN
PENGARUHNYA TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN
Dalam membicarakan kekuatan sosial dan
politik dan organisasi kemasyarakatan perlu diperhatikan undang-undang baru
dibidang politik, yang dikeluarkan pada tahun 1985.
Lima undang-undang baru dibidang
politik sebagai berikut :
a. Undang-undang No. 1 Tahun 1985
tentang Perubahan Asas Undang-undang Pemilu.
1.
Pemantapan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2.
Dasar pikiran, tujuan, asas dan sistem Pemilu tidak
berubah.
3.
Pemberian peranan yang lebih efektif kepada ketiga
organisasi kekuatan sosial dan politik dalam kegiatan pelaksanaan dan
pengawasan Pemilu.
4.
Tanda gambar mengungkapkan bahwa organisasi yang
bersangkutan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
5.
Tema kampanye Pemilu adalah program tiap organisasi
peserta Pemilu yang berhubungan dengan Pembangunan Nasional sebagai pengamalan
Pancasila.
b. Undang-undang No. 2 Tahun 1985
Tentang Perubahan Asas Undang-Undang
Susunan dan kedudukan MPR-DPR.
c. Undang-undang No. 3 tahun 1985
Tentang Perubahan Undang-Undang No. 3 Tahun
1975.
d. Undang-undang No. 5 tahun 1985
tentang Referendum
e. Undang-undang No. 8 tahun 1985
tentang organisasi kemasyarakatan
a. Pancasila sebagai satu-satunya
asas
Setiap organisasi kekuatan sosial
dan politik (parpol dan Golkar) dan organisasi kemasyarakatan, yang telah
mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam anggaran dasar dan
anggaran rumah tangganya (AD-ART) diharapkan secara konsekuen dan jujur
mengaktualisasikan didalam kehidupan yang nyata ditengah-tengah masyarakat. Ini
telah diterima, tanpa perlu dipertanyakan atau dibahas kembali.
Lembaga tertinggi negara dan
lembaga-lembaga tinggi negara, bekerja secara demokratis dan tetap berorientasi
kepada kepentingan rakyat. Untuk menjamin hak-hak demokrasi daripada rakyat
diupayakan dan diusahakan.
(1) Penciptaan suasana yang
memungkinkan ketentuan-ketentuan sosial dan politik turut ambil bagian dan sama
hak didalam berkampanye didalam pemilihan umum.
(2) Pendidikan politik yang
menjangkau sebanyak mungkin rakyat Indonesia. Sebab, makin tinggi kesadaran dan
pengetahuan politik rakyat makin hiduplah demokrasi, rakyat makin sadar akan
hak dan tanggung jawab sebagai warga negara yang baik (sosialisasi politik).
(3) Penyiapan kader-kader pemimpin
politik (regenerasi) yang memiliki sikap dan jiwa demokrasi, yang tanggap atas
aspirasi rakyat, yang mau dan mampu memperjuangkan kepentingan rakyat.
(4) Pengemban musyawarah untuk
mufakat dalam mengambil keputusan dan penyelesaian perbedaan pendapat dengan
memupuk kesediaan menerima sesuatu keputusan dengan iktikad baik dan pembinaan
penyelesaian konflik secara demokratis sehingga konflik tidak menjadi unsur
pemecah persatuan melainkan menjadi unsur dinamis melahirkan konsensus untuk
kemajuan bersama.
(5) Penciptaan suasana yang
memungkinkan rakyat menjalankan kontrol (pengawasan) dan kritik yang membangun,
dengan cara yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia.
b. Undang-undang di Bidang Politik
Pembangunan dibidang politik di
era reformasi bertujuan untuk membangun kehidupan politik yang demokratis dan
stabil dengan sasaran menegakkan kembali secepatnya wibawa dan legitimasi
pemerintah, didukung oleh partisipasi dan kepercayaan rakyat, serta menciptakan
suasana yang kondusif guna terjaminnya ketenangan, kententeraman dan ketertiban
masyarakat luas, baik diperkotaan maupun dipedesaan.
Undang-undang tentang kekuatan
sosial politik dan organisasi kemasyarakatan pada tahun 1985 tidak sesuai
dengan era reformasi dewasa ini, yaitu lima undang-undang baru dibidang
politik.
Pada tanggal 1 Februari 1999
pemerintah mengesahkan tiga undang-undang di bidang politik yang terdiri dari
Undang-undang Nomor 2 tahun 1999 tentang partai politik, undang-undang nomor 3
tahun 1999 tentang pemilihan umum, dan undang-undang nomor 4 tahun 1999 tentang
susunan dan kedudukan majelis permusyawaratan Rakyat, dewan perwakilan rakyat
dan dewan perwakilan rakyat daerah.
a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1999 tentang partai politik
b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1999 tentang pemilihan umum
c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1999 tentang susunan dan kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daera
BAB VII
PENGARUH ETIKA POLITIK TERHADAP
PESERTA DIDIK
KONDISI perpolitikan Indonesia kini mengalami tantangan yang luar
biasa. Belum hilang di benak masyarakat tentang kasus Hambalang yang menyeret
nama Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, yang kini belum jelas
ujungnya, muncul lagi satu kasus heboh seputar kasus Impor Daging Sapi yang
melibatkan Ahmad Fatonah, Mantan Presiden PKS, Lutfi Hasan Ishaq, dan beberapa
pimpinan perusahaan daging di Indonesia. Kondisi ini membawa kita pada persepsi
pakar politik yang menyatakan bahwa tahun 2013 adalah tahun politik dimana akan
ada situasi saling menyandera antar kepentingan politik. Situasi ini
diproyeksikan akan semakin memanas seiring mendekatnya pesta demokrasi terbesar
di Indonesia pada tanggal 9 April 2014 mendatang.
Kondisi dan
situasi bangsa yang seperti ini sudah cukup membuktikan secara klasik bahwa ada
penurunan etika politik di negeri ini yang menyeret beberapa elit politik
partai tersebut. Terlepas dari benar dan salahnya elit politik yang terlibat,
tentu masyarakat tetap harus mengedepankan asas praduga tak bersalah hingga
proses hukum telah final. Hanya saja, setiap proses yang berlalu dan akan
terjadi pada setiap kasus tersebut perlu diawasi bersama-sama. Sebab, seluruh
proses yang terjadi secara akumulatif tersebut tentu memberi dampak yang
sistemik terhadap berbagai aspek masyarakat. Mulai dari terbentuknya mindset
atau paradigma masyarakat yang negatif (acuh tak acuh) terhadap proses politik
hingga dampak sistemik berbagai bidang seperti bidang pemerintahan, hukum,
ekonomi, bahkan pendidikan.
Masyarakat tentu perlu menyadari bahwa setiap proses yang telah terjadi selama ini akan menjadi pengamatan setiap elemen masyarakat termasuk mereka yang berstatus sebagai pelajar. Akses berita yang terbuka ini jelas dapat dinikmati dari berbagai media, baik media cetak, elektronik maupun media sosial. Track record yang terbuka lebar ini tentu menjadi presenden buruk yang akan menghiasi perkembangan peserta didik. Paradigma yang burukpun mengancam perkembangan pola pikir mereka apalagi mereka berada pada tahap intelektual yang memiliki daya saring yang kurang baik.
Sebagai bagian dari kesatuan permasalahan bangsa, masyarakat tentu diharapkan memberi perhatian serius terhadap beberapa permasalahan ini, baik tanggung jawabnya sebagai warga negara maupun tanggung jawabnya sebagai kendali politik. Perhatian kita harusnya terpusat pada dua pokok masalah yang sangat penting, yaitu pada masalah penurunan etika politik dan masalah pembentukan karakter peserta didik yang dihiasi buruknya etika politik saat ini.
Pertama, terkait masalah penurunan etika politik. Masyarakat seharusnya lebih cermat dalam memandang setiap gejolak politik yang terjadi.
Masyarakat tentu perlu menyadari bahwa setiap proses yang telah terjadi selama ini akan menjadi pengamatan setiap elemen masyarakat termasuk mereka yang berstatus sebagai pelajar. Akses berita yang terbuka ini jelas dapat dinikmati dari berbagai media, baik media cetak, elektronik maupun media sosial. Track record yang terbuka lebar ini tentu menjadi presenden buruk yang akan menghiasi perkembangan peserta didik. Paradigma yang burukpun mengancam perkembangan pola pikir mereka apalagi mereka berada pada tahap intelektual yang memiliki daya saring yang kurang baik.
Sebagai bagian dari kesatuan permasalahan bangsa, masyarakat tentu diharapkan memberi perhatian serius terhadap beberapa permasalahan ini, baik tanggung jawabnya sebagai warga negara maupun tanggung jawabnya sebagai kendali politik. Perhatian kita harusnya terpusat pada dua pokok masalah yang sangat penting, yaitu pada masalah penurunan etika politik dan masalah pembentukan karakter peserta didik yang dihiasi buruknya etika politik saat ini.
Pertama, terkait masalah penurunan etika politik. Masyarakat seharusnya lebih cermat dalam memandang setiap gejolak politik yang terjadi.
Sebagai suatu
objek dan kendali politik, maka selayaknyalah kita mencoba mengkritisi setiap
kinerja elit politik baik yang sementara menjabat maupun yang akan mencalonkan
diri sebagai calon legislatif mendatang. Sebab, masyarakat selalu terjebak
dalam hal-hal yang pragmatis. Pada satu sisi, masyarakat menginginkan sosok
elit politik atau sosok pemimpin yang beretika, berintegritas, serta memiliki
kompetensi yang memadai. Namun di sisi lain, kecendrungan masyarakat untuk
memilih karena serangan fajar, kedekatan personal, bahkan budaya ikut-ikutan
masih sangat tinggi. Akibatnya sosok pemimpin yang lahir tidak sesuai harapan
tetapi kritikannya juga luar biasa gencarnya.
Hal ini tentu sangat disayangkan. Sebab, apabila masyarakat mau mencoba lebih kritis maka sosok pemimpin yang ideal pasti dapat lahir. Caranya adalah dengan memberi kriteria atau indikator yang menjadi calon pemimpin ideal yang sesuai dengan masyarakat. Indikator itu dapat berupa cara beretikanya kepada masyarakat, tingkat religiusitas, integritas, kompetensi, atau kesederhanaan yang dimilikinya. Jika ada pemimpin yang tidak sesuai indikator, tentu jangan dipilih agar tidak menjadi beban negara selama lima tahun mendatang.
Kedua, terkait masalah pembentukan karakter peserta didik. Perlu dicermati bahwa dengan begitu mudahnya akses teknologi informasi saat ini, maka peluang untuk mengakses berita tentu dapat lebih cepat. Keadaan ini juga berlaku untuk yang berstatus sebagai pelajar. Hanya saja, bagi peserta didik yang belum memasuki tahap cara berpikir secara dewasa dapat memperoleh informasi yang tidak baik dengan sangat mudah. Apalagi tingkat keingintahuan seorang anak di usia sekolah sangat tinggi. Sehingga dibutuhkan penyaring yang cukup ketat agar informasi yang ditangkap hanyalah informasi yang mereka butuhkan.
Berkaca pada kondisi penurunan etika politik saat ini tentu dapat menjadi pembelajaran politik yang buruk bagi peserta didik. Mereka yang telah disiapkan untuk menjadi generasi penerus bangsa malah menjadi apatis bahkan bersikap stereotype terhadap segala proses terjadi dalam pemerintahan. Dampaknya adalah sikap tersebut dapat menyebabkan turunnya kepercayaan publik (public trust) di masa mendatang. Secara sistematik, dapat pula mengganggu kinerja pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan.
Setidaknya ada beberapa pihak yang harus bertanggung jawab atas keadaan ini, yaitu, orang tua, guru, lingkungan peserta didik, media massa, serta elit politik dan pemerintah. Meskipun tanggung jawabnya ada yang bersifat langsung maupun tidak, tetapi keterpaduannya tetap memberi pengaruh yang cukup penting bagi perkembangan peserta didik.
Pertama, orang tua sebagai penanggung jawab secara langsung diharapkan dapat menjadi penyaring yang paling efektif. Penyaringan informasi, pemberian
Hal ini tentu sangat disayangkan. Sebab, apabila masyarakat mau mencoba lebih kritis maka sosok pemimpin yang ideal pasti dapat lahir. Caranya adalah dengan memberi kriteria atau indikator yang menjadi calon pemimpin ideal yang sesuai dengan masyarakat. Indikator itu dapat berupa cara beretikanya kepada masyarakat, tingkat religiusitas, integritas, kompetensi, atau kesederhanaan yang dimilikinya. Jika ada pemimpin yang tidak sesuai indikator, tentu jangan dipilih agar tidak menjadi beban negara selama lima tahun mendatang.
Kedua, terkait masalah pembentukan karakter peserta didik. Perlu dicermati bahwa dengan begitu mudahnya akses teknologi informasi saat ini, maka peluang untuk mengakses berita tentu dapat lebih cepat. Keadaan ini juga berlaku untuk yang berstatus sebagai pelajar. Hanya saja, bagi peserta didik yang belum memasuki tahap cara berpikir secara dewasa dapat memperoleh informasi yang tidak baik dengan sangat mudah. Apalagi tingkat keingintahuan seorang anak di usia sekolah sangat tinggi. Sehingga dibutuhkan penyaring yang cukup ketat agar informasi yang ditangkap hanyalah informasi yang mereka butuhkan.
Berkaca pada kondisi penurunan etika politik saat ini tentu dapat menjadi pembelajaran politik yang buruk bagi peserta didik. Mereka yang telah disiapkan untuk menjadi generasi penerus bangsa malah menjadi apatis bahkan bersikap stereotype terhadap segala proses terjadi dalam pemerintahan. Dampaknya adalah sikap tersebut dapat menyebabkan turunnya kepercayaan publik (public trust) di masa mendatang. Secara sistematik, dapat pula mengganggu kinerja pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan.
Setidaknya ada beberapa pihak yang harus bertanggung jawab atas keadaan ini, yaitu, orang tua, guru, lingkungan peserta didik, media massa, serta elit politik dan pemerintah. Meskipun tanggung jawabnya ada yang bersifat langsung maupun tidak, tetapi keterpaduannya tetap memberi pengaruh yang cukup penting bagi perkembangan peserta didik.
Pertama, orang tua sebagai penanggung jawab secara langsung diharapkan dapat menjadi penyaring yang paling efektif. Penyaringan informasi, pemberian
motivasi dan
sugesti positif akan membentuk cara berpikir positif dan kritis kepada anak.
Dalam hal ini dapat pula sangat efektif jika menggunakan pendekatan personal
kepada anak.
Kedua, guru sebagai pengajar dan pendidik di sekolah. Perannya sebagai pembentuk intelektual dan kepribadian peserta didik menjadikannya sebagai pihak yang juga bertanggung jawab dalam memberikan ilmu positif kepada peserta didik. Guru yang dimaksud tidak hanya guru pendidikan agama, guru pendidikan kewarganegaraan atau guru bimbingan dan konseling semata, tetapi juga semua guru yang ada di sekolah. Karena setiap perkataan dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap guru cenderung mengakar pada taraf inetelektual dan kepribadian anak.
Ketiga, lingkungan peserta didik. Sebagai konsekuensi tanggung jawab orang tua dan guru maka anak harus diarahkan pada kondisi lingkungan yang kondusif. Informasi yang buruk mampu mencemari pola pikir anak dan dapat menularkannya pada orang lain. Hal ini tidak berarti bahwa orang tua dan guru membatasi dalam hal memilih teman, akan tetapi perlu diawasi setiap performa yang dilakukan sang anak agar tidak tergerus informasi yang buruk.
Keempat, media informasi sebagai pusat informasi masyarakat. Media yang dimaksud adalah media cetak, elektronik, maupun media sosial. Tanggung jawab media saat ini juga termasuk yang paling signifikan dalam era politik masa kini. Penguasaan elit politik pada media tertentu turut menjadi pertanyaan akan bersihnya setiap berita yang dipaparkan. Sebab, saat ini sering sekali bermunculan kritikan seputar ketidakberimbangan media massa dalam memberikan berita yang baik bagi masyarakat. Mulai karena disebabkan oleh penulisan berita yang sangat fatal, ketidakberimbangan pemberitaan, sampai pada penayangan informasi yang tidak layak untuk ditayangkan. Hasilnya, terdapat beberapa berita yang lebih layak disebut infotaintment oleh berbagai kalangan. Ini dapat berdampak krusial bagi masyarakat dan secara khusus bagi peserta didik yang berada pada masa belajar.
Kelima, elit politik dan pemerintah sebagai figur pemimpin bangsa. Sudah menjadi hal yang tidak asing jika elit politik dan pemerintah menjadi figur yang wajib memberi teladan yang baik bagi pembelajaran etika politik di negeri ini. Keberadaannya yang sangat vital di negeri ini akan membuat mereka dengan mudah disoroti oleh media karena hal yang sepele. Sehingga setiap elit politik dan pemerintah wajib memberi contoh yang baik dalam hal integritas, kompetensi, religiusitas, serta etika dan moral dalam setiap aspek kehidupan.
Melalui berbagai pihak tersebut tentu kita mengharapkan lahirnya sosok-sosok peserta didik yang menjadi ikon kebangkitan generasi muda. Mereka yang terlahir dari kondisi yang positif ini diharapkan pula menjadi teladan dalam berpolitik serta menciptakan paradigma yang baik bagi masyarakat tentang dunia politik.
Kedua, guru sebagai pengajar dan pendidik di sekolah. Perannya sebagai pembentuk intelektual dan kepribadian peserta didik menjadikannya sebagai pihak yang juga bertanggung jawab dalam memberikan ilmu positif kepada peserta didik. Guru yang dimaksud tidak hanya guru pendidikan agama, guru pendidikan kewarganegaraan atau guru bimbingan dan konseling semata, tetapi juga semua guru yang ada di sekolah. Karena setiap perkataan dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap guru cenderung mengakar pada taraf inetelektual dan kepribadian anak.
Ketiga, lingkungan peserta didik. Sebagai konsekuensi tanggung jawab orang tua dan guru maka anak harus diarahkan pada kondisi lingkungan yang kondusif. Informasi yang buruk mampu mencemari pola pikir anak dan dapat menularkannya pada orang lain. Hal ini tidak berarti bahwa orang tua dan guru membatasi dalam hal memilih teman, akan tetapi perlu diawasi setiap performa yang dilakukan sang anak agar tidak tergerus informasi yang buruk.
Keempat, media informasi sebagai pusat informasi masyarakat. Media yang dimaksud adalah media cetak, elektronik, maupun media sosial. Tanggung jawab media saat ini juga termasuk yang paling signifikan dalam era politik masa kini. Penguasaan elit politik pada media tertentu turut menjadi pertanyaan akan bersihnya setiap berita yang dipaparkan. Sebab, saat ini sering sekali bermunculan kritikan seputar ketidakberimbangan media massa dalam memberikan berita yang baik bagi masyarakat. Mulai karena disebabkan oleh penulisan berita yang sangat fatal, ketidakberimbangan pemberitaan, sampai pada penayangan informasi yang tidak layak untuk ditayangkan. Hasilnya, terdapat beberapa berita yang lebih layak disebut infotaintment oleh berbagai kalangan. Ini dapat berdampak krusial bagi masyarakat dan secara khusus bagi peserta didik yang berada pada masa belajar.
Kelima, elit politik dan pemerintah sebagai figur pemimpin bangsa. Sudah menjadi hal yang tidak asing jika elit politik dan pemerintah menjadi figur yang wajib memberi teladan yang baik bagi pembelajaran etika politik di negeri ini. Keberadaannya yang sangat vital di negeri ini akan membuat mereka dengan mudah disoroti oleh media karena hal yang sepele. Sehingga setiap elit politik dan pemerintah wajib memberi contoh yang baik dalam hal integritas, kompetensi, religiusitas, serta etika dan moral dalam setiap aspek kehidupan.
Melalui berbagai pihak tersebut tentu kita mengharapkan lahirnya sosok-sosok peserta didik yang menjadi ikon kebangkitan generasi muda. Mereka yang terlahir dari kondisi yang positif ini diharapkan pula menjadi teladan dalam berpolitik serta menciptakan paradigma yang baik bagi masyarakat tentang dunia politik.
Sehingga
dengan terjadinya sinergitas yang cukup apik antarelemen masyarakat dan
ditunjang oleh kinerja akumulatifnya maka bangsa Indonesia khususnya dapat
menjadi adil, makmur, dan sejahtera sesuai amanat kemerdekaan Republik
Indonesia yang telah dicita-citakan.
BAB VIII
KESIMPULAN, SARAN, DAN PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan dan politik merupakan dua
hal yang seiring sejalan dalam mencerdaskan bangsa. Kedua-duanya tidak berjalan
sendiri-sendiri akan tetapi saling berhubungan atau berkaitan. Pendidikan
menyiapkan sumber daya manusia untuk mengurus politik dan negara. Negara
mengalokasikan biaya untuk mendukung kelancaran proses pendidikan. Dalam
perspektif Islam keterlibatan Negara untuk membangun dan mendukung proses
pembelajaran diberbagai lembaga pendidikan mutlak dibutuhkan.
Transformasi nilai-nilai politik
melalui institusi pendidikan melalui intervensi dalam perbuatan kebijakan
pendidikan di Indonesia sangat kuat, bahkan institusi pendidikan merupakan
wilayah politik negara dan pemerintahan, walaupun demikian perhatian negara
untuk bidang pendidikan belum menggembirakan. Anggaran yang dianggarkan melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebanyak 20 persen masih jauh
dari kebutuhan pendidikan. Disamping itu, kesejahteraan para pendidikpun belum
merata dialokasikan diseluruh negara.
B. Saran-saran
1.Jalinan
kerjasama antara lembaga-lembaga politik dengan lembaga Pendidikan
perlu ditingkatkan, sebatas dalam mempersiapkan
generasi penerus bangsa.
2. Adapun dalam hal hanya untuk
mendongkrak popularitas semata, sebaiknya se
gera dihentikan, apalagi hanya
menciptakan dinia kebohongan di dunia pendi-
dikan.
C. Penutup
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan
ini bermanfaat bagi semua pihak, ter-
Utama bagi kalangan politik dan kalangan
pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
§ Alfian, 1978. Pemikiran dan
Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.
§ Harman, G. 1980. Reassesing
research in the politics of education. In Education Research and Perspective
(The Governance of EEducation). Department of Education, University of Western
Australia.s
§ Ornstein, C. Allan, Levine, U.
Daniel, 1989. Foundation of Education. Fourth Edition. USA: Houghton Mifflin
Company, Boston.
§ Abdurrasyid. 1994. Madrasah
Nizhamiyah Studi tentang Hubungan Pendidikan Islam dan Politik. Thesis Magister
Ilmu Agama Islam, Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
§ Sirozi, Muhammad, 2004. Politik
Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU
No. 2/1989. INIS, Jakarta - Leiden.
§ -------, 2005. Politik
Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Komentar
Posting Komentar