KHUTBAH JUM'AT
إِنَّ الحَمْدَ ِللهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أنْفُسِنَا وَسَيِّئاَتِ أعْمَالِنا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِياً مُرْشِدًا، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه، بَلَّغَ الرِّسَالَةَ، وَأدَّى الأمَانَةَ، وَنَصَحَ الأمَّة، وَجَاهَدَ فِى اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ حَتىَّ أتَاهُ اليَقِيْن. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسلم وَبَارك عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمّدَ، وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهمْ بِإحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّينِ،
أمَّا بَعْدُ، فَياَ عِباَدَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قال تعالى يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ
Hadirin sidang jum’at RK :
Di tengah kehidupan yang senantiasa berputar, dari waktu ke waktu,
jumat demi jumat berlalu, seiring itu pula khutbah demi khutbah kita
perdengarkan untuk menyirami hati yang
penuh ketundukan dan mengha- rapkan keridhoaan Allah. Kemudian muncul kesadaran
dengan tekad untuk menjadi hamba Allah
yang taat. Namun kadangkala dengan rutinitas yang kembali mengisi hari-hari
kita kesadaran itu kembali tumpul bahkan luntur. Oleh sebab itulah melalui
mimbar jumat ini khotib kembali mengajak hadirin, marilah kita berupaya dengan
sungguh-sungguh memperbaharui keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah swt,
memperbaharui kembali komitmen kita kepada Allah yang sering kita ulang-ulang
namun jarang diresapi, sebuah komitmen yang mestinya menyertai setiap langkah
kita adalah:
إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي
وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ
وَأنا من الْمُسْلِمِينَ
Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya;
dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah termasuk orang orang yang menyerahkan
diri.
Hadirin sidang jum’at RK :
Dikisahkan bahwa Seorang ayah berumur 80 tahun dan anak lelakinya
yang berumur 45 tahun sedang menikmati waktu bersama di beranda rumah. Si anak adalah
seorang Profesor, Dr., yang sudah mapan dan memiliki keluarga yang bahagia.
Namun ia hanya sesekali saja datang mengunjungi ayahnya yang sebatang kara di
akhir pekan.
Situasi sore yang santai itu tiba-tiba terusik dengan kedatangan
seekor burung yang tiba-tiba hinggap di pagar dekat tempat mereka duduk. Si
ayah yang sudah tua dan matanya yang sudah sedikit rabun serta telinganya yang
sudah mulai kurang mendengar, penasaran dan bertanya pada anaknya, “Burung apakah
itu anakku ?”
“Itu burung gagak,” jawab si anak.
Setelah beberapa menit, si ayah bertanya lagi, “Burung apakah
itu?”
“Aku baru saja memberitahumu. Itu burung gagak, ayah!” si anak
menjawab dengan ekspresi muka yang kesal.
Si burung yang bertengger di pagar belum terbang, si ayah kembali
bertanya untuk yang ketiga kalinya.
“Burung apa itu?”
Dengan raut muka yang semakin kesal dan nada yang keras, si anak
menjawab lagi, “Itu gagak, burung gagak. Jelas ?!”
Tidak hanya berhenti di situ, sang ayah yang tua renta kembali
bertanya pada anaknya untuk keempat kalinya, “Burung apa itu, nak?”
Si anak semakin kesal dan mulai marah, ia merasa sebal karena ayahnya
yang tua itu sudah tidak bisa lagi berpikir jernih, “Kenapa kamu terus bertanya
seperti itu? Kamu ini tidak bisa mendengar atau bagaimana? Itu burung gagak.
BURUNG GAGAK!” teriaknya.
Sang ayah kemudian berjalan tertatih ke kamarnya. Saat keluar ia
membawa sebuah buku diary / catatan harian yang sudah usang. Semasa muda, sang
ayah gemar menulis kegiatan hariannya di buku tersebut termasuk saat si anak,
sang profesor ini masih kecil.
Pria tua itu membuka sebuah halaman dan menyuruh anaknya untuk
membaca tulisan di halaman tersebut.
Bunyi catatan harian itu adalah : “Hari ini anak laki-lakiku
berumur tiga tahun. Ia sedang duduk di pangkuanku. Kami melihat seekor gagak
hinggap di dekat jendela. Anak laki-lakiku yang aku sayangi bertanya 23 kali
tentang binatang yang baru dilihatnya untuk pertama kali itu dan akupun
menjawabnya sebanyak 23 kali, berusaha memberitahunya bahwa itu adalah seekor
burung gagak.
Aku memeluknya dengan penuh kasih sayang setiap kali ia bertanya
padaku. Aku merasa senang karena anakku sudah mulai serba ingin tahu tetang
sesuatu. Aku sama sekali tidak merasa terganggu karena aku sangat menyayangi
anakku.”
Dari cerita ini kita bisa melihat bagaimana terkadang kita telah
memperlakukan orangtua kita, ayah kita dengan semena-mena. Kita tidak ingat
bahwa semasa kecil, mereka dengan sabar mengajari dan mendidik kita hingga bisa
tumbuh dewasa seperti sekarang ini.
Jadi saat orangtua kita sudah
beranjak tua, jangan pernah menyia-nyiakan mereka. Ingatlah pengorbananan ayah
atau ibu kita semasa kita masih kecil. Sayangilah mereka seperti mereka
menyanyangi kita dulu.
Karena alasan itulah, di samping Hari Ibu yang diperingati setiap
tanggal 22 Desember, rakyat Indonesia
mulai memperingati Hari Ayah Nasional setiap tanggal 12 November.
Perayaan Hari Ayah di Indonesia memang belum sepopuler Hari Ibu. Perayaan yang juga bertepatan dengan Hari Kesehatan Nasional ini lahir dari prakarsa sebuah komunitas lintas agama pada 2006 silam.
Uniknya, para pemrakarsa Hari Bapak Nasional ini bukanlah kaum ayah. Melainkan para wanita. Kaum ibu yang tergabung dalam Perkumpulan Putra Ibu Pertiwi (PPIP) menggelar deklarasi Hari Ayah pada 12 November 2006 di Pendopo Gede Balaikota Solo, Jawa Tengah.
Seperti dikutip dari laman Sumenep.go.id, Rabu (12/11/2014), deklarasi juga digelar bersamaan oleh beberapa anggota PPIP lainnya di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Ketua PPIP kala itu, Gress Raja mengatakan, Hari Bapak lahir karena figur ayah sebagai bagian dari keluarga juga memegang peran sangat penting dalam pembentukan karakter keluarga. Bapak dan ibu adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Perayaan Hari Ayah di Indonesia memang belum sepopuler Hari Ibu. Perayaan yang juga bertepatan dengan Hari Kesehatan Nasional ini lahir dari prakarsa sebuah komunitas lintas agama pada 2006 silam.
Uniknya, para pemrakarsa Hari Bapak Nasional ini bukanlah kaum ayah. Melainkan para wanita. Kaum ibu yang tergabung dalam Perkumpulan Putra Ibu Pertiwi (PPIP) menggelar deklarasi Hari Ayah pada 12 November 2006 di Pendopo Gede Balaikota Solo, Jawa Tengah.
Seperti dikutip dari laman Sumenep.go.id, Rabu (12/11/2014), deklarasi juga digelar bersamaan oleh beberapa anggota PPIP lainnya di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Ketua PPIP kala itu, Gress Raja mengatakan, Hari Bapak lahir karena figur ayah sebagai bagian dari keluarga juga memegang peran sangat penting dalam pembentukan karakter keluarga. Bapak dan ibu adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Oleh
karena itu dalam rangka mengisi HARI AYAH Nasional ke - 9 ( 12 Nopember 2014 )
dan Hari Ibu ke-
86, 22
Desember 2014 nanti, marilah kita berikan kasih sayang kepada kedua orang tua
kita, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi kita di waktu kecil.
Dan apabila kedua orang tua kita telah tiada, do’a-kanlah mereka sebagaimana
do’a yang allah ajarkan kepada kita :
“
Allahumagfirli dunubi, waliwalidayya, warhamhuma kama robbayani shogiro.”
“ Ya
Allah ampunilah aku, dan kedua orang tuaku, dan sayangilah mereka, sebagaimana
mereka menyayangi –ku di waktu kecil.”
بَارَكَ
اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا
فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ
وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ،
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ.
Terima kasih
BalasHapus