AGAMA

MENGHADAP KIBLAT DALAM SHOLAT
ADALAH SEBUAH KENISCAYAAN

1. Sejarah menghadap Kiblat dalam Sholat

   Pada awalnya Rasulullah setiap shalat menghadap ke Baitil Maqdis, kemudian beliau memohon kepada Allah untuk dapat shalat menghadap ke Ka’bah.
Dari Anas bin Malik, katanya” Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa shalat seperti kita, menghadap ke kiblat seperti kita, dan memakan binatangsembelihan seperti kita, maka dialah orang muslim yang berada di bawah perlindungan Allah dan RasulNya, Karena itu janganlah anda menghianati Allah perihal perlindunganNya itu.” (Bukhari).

Dari Barrak bin ‘Azib r.a., katanya: “Rasulullah saw shalat menhadap ke Baitil Maqdis, enam atau tujuh belas bulan lamanya. Sedang beliau ingin shalat menhadap ke Ka’bah. Maka turun ayat: “Sesungguhnya Kami tahu engkau menghadapkan mukamu ke langit berulang-ulang, maka setelah itu Nabi saw
shalat menghadap ke Ka’bah. Tetapi orang-orang bodoh, antara lain orang-orang Yahudi, berkata: “Apakah
sebabnya mereka berpaling dari kiblat mereka semula ?” Katakan hai Muhammad “Kepunyaan Allah Timur dan Barat, ditunjukiNya kepada jalan yang lurus siapa-siapa yang dikehendakiNya.” Seorang laki-laki shalat bersama Nabi saw waktu terjadinya perubahan kiblat itu. Setelah shalat dia pergi. Dia melewati sekelompok oang Anshar sedang shalat “Ashar, masih menghadap ke Baitil Maqdis. Lalu dikatakannya, bahwa tadi dia shalat bersama Nabi saw menghadap ke Ka’bah. Karena itu mereka merubah arah kiblat mereka dan menghadap ke Ka’bah. (Bukhari).

Dari Abdullah bin Umar r.a., katanya:”Ketika orang-orang di Quba sedang shalat subuh, tiba-tiba datang seorang mengatakan: “Sesungguhnya tadi malam Al Qur’an turun kepada Rasululah saw. Beliau diperintahkan shalat menghadap ke Ka’bah, Maka menghadap pulalah anda semua ke Ka’bah. Lalu mereka yang ketika itu sedang shalat dengan menghadap ke Syam, merubah arah mereka dengan menghadap ke Ka’bah.

" Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. 2:115)

Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata :”Apakah yang memalingkan mereka (ummat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?”. Katakanlah :”Kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”. (QS. 2:142)

" Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi beberapa orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak
akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia." (QS. 2:143)

" Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi
Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhan-nya; dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan."  (QS. 2:144)

" Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebagian dari mereka pun tidak mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim. (QS. 2:145) Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (QS. 2:146)

" Kebenaran itu adalah dari Tuhan-mu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. "(QS. 2:147)

" Dan bagi tiap-tiap ummat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Seungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. " (QS. 2:148)

" Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram; Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang haq dari Tuhan-mu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah atas apa yang kamu kerjakan." (QS. 2:149)

2. Menghadap Kiblat adalah Perbuatan Wajib dalam Sholat.

Menghadap kiblat dalam shalat adalah syarat sah shalat. Para ulama telah berijma akan kewajiban menghadap kiblat dalam pelaksanaan shalat. Kewajibanmenghadap kiblat ini berdasarkan al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma. Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah menegaskan bahwa tidak ada perselisihan pendapat dalam kewajiban menghadap kiblat.[1]
Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 144:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.”(QS.al-Baqarah: 144)
Sebelum ayat ini turun, Ummat Islam pada saat itu menghadap Baitul-Maqdis dalam shalatnya. Kemudian ayat ini turun  men-nasakh hukum tersebut dan memerintahkan untukmenghadap kiblat. Ibn Abbas radhiyallahu anhu berkata, “Yang pertama kali dinasakh dalam al-Qur’an adalah perkara kiblat.”
Dalam ayat tersebut Allah Ta’ala menggunakan kata perintah (فَوَلِّ) yang menunjukan perintah untuk menghadapkan wajah ke arab kiblat. Dan arah kiblat ditunjukan dalam kalimat (شَطْرَ) yang bermakna arah. Ibn Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala memerintahkan untuk menghadap kiblat dari semua arah muka bumi, baik timur, barat, utara dan selatan.”[2]
Al-Qurthubi rahimahullah berkata:
لَا خِلَافَ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّ الْكَعْبَةَ قِبْلَةٌ فِي كُلِّ أُفُقٍ، وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ شَاهَدَهَا وَعَايَنَهَا فُرِضَ عَلَيْهِ اسْتِقْبَالُهَا، وَأَنَّهُ إِنْ تَرَكَ اسْتِقْبَالَهَا وَهُوَ مُعَايِنٌ لَهَا وَعَالِمٌ بِجِهَتِهَا فَلَا صَلَاةَ لَهُ، وَعَلَيْهِ إِعَادَةُ كُلِّ مَا صَلَّى
Tidak ada perselisihan di antara ulama bahwa ka’bah adalah kiblat dari semua penjuru. Dan merekapun berijma bahwasannya barangsiapa yang menyaksikannya secara langsung dengan mata kepala maka diwajibkan atasnya untuk menghadapnya. Dan bahwasannya barangsiapa tidak menghadapnya sedang dia melihat langsung (ka’bah) dan mengetahui arahnya maka tidak ada shalat baginya dan dia harus mengulang shalatnya.[3]
Beliau al-Qurthubi rahimahullah juga mengatakan:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ كُلَّ مَنْ غَابَ عَنْهَا أَنْ يَسْتَقْبِلَ نَاحِيَتَهَا وَشَطْرَهَا وَتِلْقَاءَهَا، فَإِنْ خَفِيَتْ عَلَيْهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَسْتَدِلَّ عَلَى ذَلِكَ بِكُلِّ مَا يُمْكِنُهُ مِنَ النُّجُومِ وَالرِّيَاحِ وَالْجِبَالِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا يُمْكِنُ أَنْ يُسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى نَاحِيَتِهَا.
Dan mereka (para ulama) telah berijma bahwa barangsiapa ghaib (yaitu tidak melihat ka’bah secara langsung) maka hendaknya dia menghadap arah ka’bah tersebut. Jika tidak nampak, maka baginya menggunakan petunjuk yang memungkinkan dari bintang, angin, gunung dan selainnya yang memungkinkan bisa dijadikan petunjuk untuk menunjukan arah kiblat.[4]
Adapun landasan dalil dari Sunnah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulallah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ
“Jika engkau hendak mendirikan shalat maka sempurnakanlah wudhumu, kemudian menghadaplah ke kiblat lalu bertakbirlah.” (HR. al-Bukhari Muslim)
Dua dalil di atas, menjelaskan akan kewajiban menghadap kiblat dalam shalat dan bahwa perekara ini termasuk perkara yang sudah di-ijma’kan oleh para ulama dan ummat Islam. Kemudian, pengamalan Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya memperkuat dalil masalah ini, berikut beberapa riwayat yang menjelaskan perihal menghadap kiblat.
Al-Bukhari Dari Barra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pertama kali datang ke Madinah tinggal di rumah kakek atau paman-paman beliau dari kalangan Ansar. Ketika itu Rasulullah shalat menghadap Baitul Maqdis (Al Quds atau Yerusalem) antara 16 atau 17 bulan lamanya. Sesungguhnya Rasulullah lebih suka Baitullah (Ka’bah) sebagai kiblatnya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pertama kali melaksanakan shalat dengan menghadap Ka’bah adalah shalat Asar yang dilaksanakannya secara berjamaah. Kemudian salah seorang yang selesai bermakmum kepada Nabi keluar dan pergi melewati sebuah masjid pada saat jamaahnya sedang ruku’ menghadap Baitul Maqdis. Lantas orang itu berkata, “Demi Allah, baru saja saya shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menghadap ke Baitullah di Makkah.” Maka dengan segera mereka mengubah kiblat menghadap ke Baitullah. Orang Yahudi dan ahli kitab mulanya sangat bangga ketika Nabi dan para pengikutnya shalat menghadap Baitul Maqdis. Tetapi setelah umat Islam beralih ke Baitullah mereka mencela perubahan itu. Zuhair berkata, Abu Ishaq mengatakan dari Barra’ dalam hadits ini, bahwa banyak orang yang telah meninggal di masa kiblat masih ke Baitul Maqdis dan banyak juga yang terbunuh setelah kiblat menghadap ke Baitullah. Kami tidak mengerti bagaimana hukumnya shalat itu. Lalu turunlah ayat, “Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.”(QS. Al Baqarah : 143)
Dan dari Ibnu Umar radhiallahu anhu, ia berkata: ketika orang-orang berada di Quba’ (waktu shalat subuh) tiba-tiba ada seseorang datang kepada mereka, lalu ia berkata: Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam, pada malam ini telah diturunkan kapadanya ayat Al Quran, dan sesungguhnya ia diperintahkan untuk menghadap qiblat, oleh karena itu menghadaplah ke qiblat, sedang muka-muka mereka waktu itu menghadap ke Syam, kemudian mereka berputar ke jurusan Ka’bah.” (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Muslim meriwayatkan dari Anas, sesungguhnya Rasulullahshallallahu alaihi wasallam, pernah shalat menghadap kearah baitul maqdis, lalu turunlah ayat: “Sesungguhnya kami mengetahui berbolak-baliknya mukamu ke langit, oleh karena itu (sekarang) kami memalingkan kamu ke satu qiblat yang pasti kamu rela, maka hadapkanlah mukamu kearah Masjidil Haram.” Kemudian seorang laki-laki dari Bani Salamah berjalan (sedang mereka semua sedang ruku’ dalam sembahyang subuh) dan mereka sudah sembahyang satu raka’at. Lalu ia menyeru: ketahuilah! sesunguhnya qiblat telah dipindahkan. Lalu mereka berpaling sebagaimana keadaan mereka kejurusan qiblat.” (HR Muslim, Ahmad dan Abu Daud).
Berikut penjelasan ulama dari empat mazhab yang menjelaskan tentang menghadap kiblat dalam shalat:
Al-Kasani rahimahullah mnjelaskan bahwa menghadap kiblatsudah di-ijmakan oleh ummah ini, kemudian beliau berkata, “Hukum asalnya, sesungguhnya menghadap kiblat dalam shalat merupakan syarat tambahan yang tidak dipahami maknanya.”[5]
Ibn Rusd rahimahullah berkata, “Ummat Islam telah sepakat bahwa menghadap ke arah al-Bait (Ka’bah) termasuk syarat dari syarat-syarat shalat.”[6]
Al-Nawawi rahimahullah berkata:
الباب الثالث في استقبال القبلة :وهو شرط لصحة الفريضة، إلا في شدة خوف القتال المباح، وسائر وجوه الخوف. وشرط لصحة النافلة، إلا في الخوف، والسفر المباح. والعاجز، كالمريض لا يجد من يوجهه.
Bab Ketiga Mengenai Menghadap Kiblat.  Menghadap kiblatadalah syarat sah shalat fardhu kecuali dalam keadaan ketakutan yang teramat sangat dalam peperangan yang dibolehkan, dan semua hal yang menyebabkan ketakutan.  Menghadap kiblat juga menjadi syarat sah untuk shalat sunnah kecuali dalam keadaan ketakutan yang teramat sangat, perjalanan yang mubah, dan tidak mampu, seperti orang yang sakit dan tidak ada yang menghadapkannya.[7]
Ibn Qudamah rahimahullah berkata:
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ اسْتِقْبَالَ الْقِبْلَةِ شَرْطٌ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ الْفَرِيضَةِ وَالنَّافِلَةِ ؛ لأَنَّهُ شَرْطٌ لِلصَّلَاةِ ، فَاسْتَوَى فِيهِ الْفَرْضُ وَالنَّفَلُ ، كَالطَّهَارَةِ وَالسِّتَارَةِ ، وَلِأَنَّ قَوْله تَعَالَى : ﴿وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ﴾ عَامٌّ فِيهِمَا جَمِيعًا.
Telah kami sebutkan bahwannya menghadap kiblat adalah syarat sah shalat. Tidak ada perbedaan antara sholat fardhu dengan sholat sunnah  karena menghadap kiblat itu adalah syarat sholat, dan dalam masalah ini sama antara fardhu dan sunnah; seperti halnya bersuci dan menutup aurat.  Dikarenanya firman Allah Ta’ala, “Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” berlaku umum baik untuk sholat fardlu maupun nafilah.”[8]
Demikianlah penjelasan beberapa ulama dari empat mazhab tentang menghadap kiblat. Pandangan ulama empat mazhab ini, dijelaskan pula oleh Al-Syaukani rahimahullah tatkala menjelaskan salah satu hadits tentang menghadap kiblat, beliau berkata,Sesungguhnya yang diwajibkan bagi orang yang jauh dari Ka’bah adalah menghadap ke arah bukan pada bangunan Ka’bah (al-Ain).  Ini adalah pendapat yang dianut Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad serta pendapat ini adalah pendapat yang nampak dari al-Syafii sebagaimana dinukil oleh al-Muzani”[9]
Yang dikecualikan dalam masalah menghadap kiblat yaitu shalat sunnah dalam perjalanan, dalam kondisi ini maka mengikuti kemana arah kendaraan, kemudian dalam kondisi perang dan seseorang yang tidak mengetahui arah kiblat setelah dia berusaha berijtihad mencari arah kiblat yang benar.
رَوَي اْلبُخَارِيُّ عَنْ جَابِرٍ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir, bahwa beliau berkata, “Adalah Rasulallah shallallahu alahi wasallam shalat di atas kendaraannya dengan menghadap arah yang dituju kendaraan. Dan jika beliau hendak shalat fardhu maka beliau turun dan menghadap kiblat.” (HR. al-Bukhari No.400)
Ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah menjelaskan faidah hukum dari hadits tersebut dengan mengatakan, “Hadits ini menunjukan untuk tidak meninggalkan menghadap kiblat dalam shalat fardhu, dan perkara ini sudah ijma’. Akan tetapi tatkala dalam kondisi takut yang sangat maka itu mendapatkan rukhsah.”[10]
رَوَي اْلبُخَارِيُّ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُومِئُ إِيمَاءً صَلاَةَ اللَّيْلِ إِلاَّ الْفَرَائِضَ وَيُوتِرُ عَلَى رَاحِلَتِهِ.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibn Umarradhiallahu anhu bahwa beliau berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan dengan menghadap arah yang dituju kendaraan dan juga beliau melaksanakan witir di atasnya. Dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat wajib di atas kendaraan.”(HR. Bukhari No.1000)
رَوَي اْلبُخَارِيُّ عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُسَبِّحُ عَلَى ظَهْرِ رَاحِلَتِهِ حَيْثُ كَانَ وَجْهُهُ يُومِئُ بِرَأْسِهِ ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَفْعَلُهُ.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibn Umar radhiallahu anhuma bahwa Rasulallah shallallahu alaihi wasallam mengerjakan shalat sunnah di atas punggung unta kemanapun arah menghadap. Beliau memberikan isyarat dengan kepalanya. Ibn Umar-pun melakukan hal serupa. (HR. al-Bukhari No.1105)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KHUTBAH JUM'AT

CARA SEHAT DENGAN NATURAL

KHUTBAH JUM"AT