DUNIA PENDIDIKAN



Membuka Kembali Catatan Sejarah Ujian Nasional

Foto Al Askuning.

Ujian nasional pada tahun 2017 dalam rencana dimoratorium, demikian informasi yang didifusikan oleh Prof. Muhadjir ,Menteri Pendidikan, selanjutnya dikutip oleh berbagai media pada akhir bulan November 2016. Menurut sumber yang menyebar info terkini  (http://news.okezone.com)  kebijakan ini telah disetujui Presiden Jokowi dan akan segera menerbitkan keputusannya dalam bentuk Kepres.
Informasi ini akan menambah catatan sejarah Ujian Nasional. Pelaksanaannya telah menjadi bagian dari sistem penjaminan mutu pendidikan Indonesia telah berkembang dari  waktu ke waktu pelaksanaannya terus mengalami pergeseran mengikuti perkembangan pemikiran yang tumbuh bersama perkembangan pendidikan bangsa. Pemikiran tentang perlu tidaknya, penting tidaknya, terus mengalami pasang surut. Ketika keputusan politik lebih berpengaruh dalam penetapan kebijakan pendidikan, pihak yang berusaha mempertahankannya menyurutkan harapannya.
Bermula dari pelaksanaan Ujian negara (1965/1971). Ujian negara tidak diikuti oleh seluruh siswa. Hanya siswa yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya yang mengikuti ujian negara. Siswa yang tidak mengikuti ujian negara mendapat ijazah, sedangkan yang luluas ujian mendapatkan ijazah dan tanda lulus ujian. Kelulusan dari ujian negara menjadi citra sekolah dan daerah. Oleh karena itu bantuan terhadap siswa dalam ujian negara kerap dilakukan oleh pihak tertentu secara tertutup untuk membantu siswa mendapatkan kelulusan dengan nilai baik.
Selanjutnya ujian negara digantikan dengan ujian sekolah 1972 sampai 1979. Pada era ini rata-rata kelulusan 100%. Sekolah mempertimbangkan nilai yang diberikan kepada para siswa. Sidang dewan pendidik menjadi penentu kelulusan. Namun demikin pada akhirnya penentuan nilai tidak berdampak pada peningkatan mutu pendidikan, melainkan hanya mengolah nilai yang siswa peroleh agar memenuhi kriteria kelulusan.
Sejarah selanjutnya mencatat bahwa kebijakan ujian nasional kembali diperlukan. Dengan menggunakan istilah Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional atau EBTANAS (1980 _ 2002). Nilai EBTANAS dikelola oleh pihak pemerintah dan kelulusan ditentukan dengan nilai semester lima, enam, dan nilai EBTANAS. Komposisi itu melahirkan istilah PQR, P nilai semester lima di SMP/SMA, Q adalah nilai semester 6, dan R nilai EBTANS. Sejarah kembali membukukan catatan bahwa sekolah sangat berkepentingan untuk membantu kelulusan siswa. Banyak siswa yang belum dapat memenuhi kriteria mutu. maka bantuan sekolah lakukan dengan memanipulasi PQ agar hasil perhitungan PQR memperoleh batas minimal kelulusan.
Istilah berganti menjadi Ujian Akhir Nasional atau UAN tahun 2003_2004. Batas kelulusan ditetapkan minimal 3 pada tahun 2003 dan 4 pàda tahun 2004. Nilai UAN jadi satu_satunya syarat kelulusan. Pada tahun 2005 UAN berubah menjadi Ujian Nasional atau UN, batas kelulusan 4.25 sampai thn 2007. Pada tahun 2008 batas kelulusan naik menjadi 5.5. Batas kelulusan berlaku sampai 2010.
Kelulusan UAN dan UN selain penting untuk kelulusan siswa, juga penting bagi citra keberhasilan sekolah. Banyak upaya yang sekolah lakukan untuk memfasilitasi siswa mendapat nilai terbaik. Perbaikan proses belajar terus diupayakan melalui penatan guru, namaun target yang diharapkan tidak tercapai. Mutu pencapaian belajar banyak yang rendah akibat mutu sumber daya pendidikan dan sarana belajar yang belum sesuai dengan kebutuhan untuk mendukung terwujudnya pendidikan bermutu. Jalan pintas membantu siswa untuk mendapatkan nilai yang baik banyak dilakukan oleh sekolah sehingga hasil UN tidak mencerminkan kemampuan siswa yang sesungguhnya di sebagian sekolah.
Tahun 2011-2013 kelulusan digabung antara nilai sekolah dan UN dengan perbandingan 60:40 dengan batas kelulusan 5.5. Tahun 2015 UN jadi alat ukur pemetaan mutu untuk mengetahui pemenuhan stadar. Pada tahun 2015 diputuskan oleh Menteri Pendidikan Anis Baswedan bahwa hasil UN tidak digunakan untuk menentukan kelulusan. Bersamaan dengan itu, akibat maraknya ketidakjujuran dalam menentukan nilai UN, maka muncul upaya Kemendikbud  yaitu di samping nilai UN, mengukur pula Indeks Kejujuran.
Dari waktu ke waktu ujian nasional  menjadi polemik.  Yang menjadi salah satu pembahasan adalah tentang besaran pekerjaan, seperti, pengadaan naskah untuk total peserta UN 2016 7,3 juta siswa. Peserta itu terdiri dari siswa SMP, SMA/SMK, dan UN Pendidikan Kesetaraan (Paket B dan Paket C). Dari total 7,3 juta siswa, sebanyak 6,3 juta siswa menjadi peserta UN berbasis kertas, sedangkan sisanya adalah peserta UN berbasis komputer ataucomputer based test (CBT).
 Besarnya anggaran, menurut Kemendikbud,  untuk mengadakan dan mendistribusikan naskah UN 2016 ini mencapai Rp 94 miliar. Anggaran tersebut turun sekitar Rp 20 miliar dibandingkan pada tahun sebelumnya. Tahun 2015, anggaran UN untuk pelaksanaan ujian nasional berbasis kertas mencapai Rp 114 miliar. Penurunan anggaran ini disebabkan meningkatnya jumlah peserta UN berbasis komputer pada UN tahun 2016.
Polemik perlu tidaknya UN terus berlanjut. Kebijakan kini merencanakan untuk meniadakan. Setelah UN dimoratorium, Indonesia memerlukan alat memetakan mutu pendidikan nasional dalam bentuk lain. Sekali pun tidak dapat ditampik bahwa UN telah mendorong guru dan siswa meningkatkan kinerja pembelajaran karena khawatir mendapat nilai yang rendah, kini kembali akan segera ditiadakan. Mutu pendidikan kini kembali diserahkan kepada para guru dan pemangku kewenangan di sekolah.
Kini kita nantikan peran sekoah yang akan lebih menunjukkan tanggung jawabnya….Semoga lebih baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KHUTBAH JUM'AT

KHUTBAH JUM"AT

CARA SEHAT DENGAN NATURAL